Filsafat Ilmu
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah tanggung jawab
bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat. Keluarga adalah lembaga
pertama dan utama bagi pembentukan nilai-nilai dan karakter manusia (habitual
formation), pemerintah dengan fasilitas sekolah meneruskan
nilai-nilai dan karakter yang dibangun di lingkungan keluarga sebagai
pendidikan kedua, dan dilanjutkan dengan kehidupan di masyarakat yang juga
bertanggung jawab dalam pembentukan moral anak. Ketiga lembaga yang dimaksud
oleh Ki Hajar Dewantara sering disebut Tricentra Pendidikan.
Namun demikian, aktualisasi pemeran
sertaan terutama antara sekolah dengan masyarakat tersebut masih sangat
variatif antar daerah dan antar satuan-satuan pendidikan. Keberagaman tersebut
terutama disebabkan oleh paradigma pembangunan pendidikan yang selama ini
diberlakukan, yang kemudian mempengaruhi perilaku birokratnya.
Aspek
filsafat sesungguhnya merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan
kinerja dan mutu pendidikan di suatu negara, meskipun bukan satu-satunya
determinan. Di samping kajian filsafat mengenai eksistensi ilmu pendidikan,
perumusan dan kejelasan filsafat pendidikan itu sendiri akan menentukan
kebijakan dasar pendidikan, dan selanjutnya menentukan tingkat kemajuan dan
perkembangan pendidikan nasional.
Atas
dasar itu ilmu dan aplikasi pendidikan secara komprehensif membahas berbagai
aspek dan persoalan pendidikan teoritis/filosofis, pendidikan praktis,
pendidikan disiplin ilmu, dan pendidikan lintas bidang, sangatlah tepat dan
strategis. Sejumlah ahli mengungkapkan bahwa di tengah kecendrungan pragmatisme
dalam dunia pendidikan, ilmu pendidikan merupakan ilmu yang cenderung kurang
berkembang. Ilmu pendidikan bukan saja tidak memiliki daya pikat dan daya tarik
yang kuat, tapi juga bersifat konservatif, statis, kurang menghiraukan aspirasi
kemajuan, dan semakin terlepas dari konteks budaya masyarakat.
Sedangkan
filsafat ilmu merupakan ikhtiar manusia untuk memahami pengetahuan agar menjadi
bijaksana. Dengan filsafat ilmu keabsahan atau cara pandang harus bersifat
ilmiah. Filsafat ilmu memperkenalkan knowledge (pengetahuan) dan science
(sains) yang dapat ditransfer melalui proses pembelajaran atau pendidikan.
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Ilmu
Filsafat
mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bisa menjumpai
pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji
kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).
Menurut
kamus Webster New World Dictionary, kata
science berasal dari kata
latin, scire yang artinya mengetahui.
Secara bahasa science berarti “keadaan
atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge)
yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami
perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis
yang berasal dari 11 observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan
untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam
bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui.
Jadi
ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata
scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains).
Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme–positiviesme sedangkan ilmu
melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara,
2003).
Berbicara
mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat
pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu
sebagaimana adanya”. Will Duran dalam bukunya
The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan
marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri.
Pasukan
infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat yang
memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam
maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal
fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah
filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum
fisika sebagai Philosophiae Naturalis
Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi
menulis buku The Wealth Of Nation (1776)
dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas
Glasgow.
Auguste
Comte dalam Scientific Metaphysic,
Philosophy, Religion and Science, 1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu
pengetahuan yaitu: religius, metafisic dan positif. Dalam tahap awal asas
religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau
penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika
dan keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma
religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik.
Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang
digunakan diuji secara positif dalam proses 12 verifikasi yang obyektif. Tahap
terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain
matematika.
Filsafat
ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut
epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang
berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama
kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat
yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ),
ontology ( teori tentang apa).
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai
dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti
bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong
ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu
akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian
rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis,
dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga
memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan.
B.
Objek Filsafat Ilmu
1.
Objek Material Filsafat Ilmu
Objek
material adalah objek yang di jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau
objek yang yang di pelajari oleh ilmu itu. Objek material filsafat illmu adalah
pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah di susun secara
sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat di pertanggung
jawabkan kebenarannya secara umum.
2.
Objek Formal Filsafat Ilmu
Objek
formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya.
Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya
filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu
pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh
kebenaran ilmiah dan apa fingsi ilmu itu bagi manusia. Problem inilah yang di
bicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan
ontologis, epistemologis dan aksiologis.
C.
Dasar-dasar
Filsafat Ilmu Pendidikan
Dasar-dasaar filsafah keilmuan terkait dalam
arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar
antropolgis ilmu pendidikan.
1. Dasar Ontologis Ilmu Pendidikan
Pertama-tama
pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun
aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman
pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu
pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek
kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan
atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai
warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau
kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Agar
pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu
pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi
pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh,
hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang
berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada
ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks
sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar
mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang
menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan
mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro.
Hal itu
terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh
memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas
dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak
bersikap afektif utuh demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi
mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta
didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan egitu pendidikan hanya akan
terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB
summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi
kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
2. Dasar Epistemologis Ilmu Pendidikan
Dasar
epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun
pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula
namuntelaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan
fenomenologis yang akan menjalin stui empirik dengan studi
kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif,
artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara
pasca positivisme.
Karena
itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan
sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian
tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen,
1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang
fenomen pendidikan maka vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai
bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental,
penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto.
Inti
dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan
objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya mengembangkan ilmu
terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu
otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun
tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental
(Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan
sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara
praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).
3.
Dasar
Aksiologis Ilmu Pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang
otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi
pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu
nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni
untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar
kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang
negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan.
Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya
terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas
pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan
pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix
(1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan
bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh
pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku.
Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku
kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam
kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr
Perason,1990).
4.
Dasar
Antropologis Ilmu Pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan
antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana
terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr
mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya.
Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar
antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2)
individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia
apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang
menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan
diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu
pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba
kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
D.
Filsafat Ilmu Dan Aplikasinya Dalam Pendidikan
Aspek filsafat
sesungguhnya merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kinerja dan
mutu pendidikan di suatu negara, meskipun bukan satu-satunya determinan. Di
samping kajian filsafat mengenai eksistensi ilmu pendidikan, perumusan dan
kejelasan filsafat pendidikan itu sendiri akan menentukan kebijakan dasar
pendidikan, dan selanjutnya menentukan tingkat kemajuan dan perkembangan
pendidikan nasional.
Atas dasar itu
ilmu dan aplikasi pendidikan secara komprehensif membahas berbagai aspek dan
persoalan pendidikan teoritis/filosofis, pendidikan praktis, pendidikan
disiplin ilmu, dan pendidikan lintas bidang, sangatlah tepat dan strategis.
Sejumlah ahli mengungkapkan bahwa di tengah kecendrungan pragmatisme dalam
dunia pendidikan, ilmu pendidikan merupakan ilmu yang cenderung kurang
berkembang. Ilmu pendidikan bukan saja tidak memiliki daya pikat dan daya tarik
yang kuat, tapi juga bersifat konservatif, statis, kurang menghiraukan aspirasi
kemajuan, dan semakin terlepas dari konteks budaya masyarakat.
Ilmu
pendidikan, dengan demikian dianggap mengalami reduksi dan involusi. Salah satu
akar persoalannya, ilmu pendidikan dianggap tidak didukung oleh body of
knowledge yang relevan dengan masyarakat Indonesia, serta tidak dibangun atas
dasar pengetahuan yang relevan dengan perkembangan jiwa dan fisik anak-anak
Indonesia.
Pada sisi lain,
falsafah yang mendasari ilmu pendidikan serta kebijakan dasar pendidikan secara
umum, pada saat ini dihadapkan pada konteks masyarakat Indonesia yang sedang
berubah, suatu masyaerakat reformasi transisional yang diharapkan menuju
masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, demokrasi, egaliter, menghargai
kenyataan pluralitas masyarakat dan sumber daya, otonomi, dsbnya. Kenyataan ini
merupakan tantangan baru di tengah “keringnya” ilmu pendidikan.
Tantangan
semacam itu, tentu perlu disikapi oleh para pakar pendidikan dengan upaya
menemukan dan merumuskan parameter yang bersifat menyeluruh, untuk membangun
ilmu pendidikan sebagai ilmu yang multidimensi baik dari segi filsafat
(epistemologis, aksiologis, dan ontologis), maupun secara ilmiah. Dari segi ini,
yang diinginkan adalah ilmu pendidikan yang berakar dari konteks budaya dan
karakteristik masyarakat Indonesia, dan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia
yang terus berubah.
Alangkah
pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan
dalam praktek harus dipertanggungjawabkan.Tanpa teori dalam arti seperangkat
alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka
tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang
kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap
tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik
dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain
memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh
alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik
dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati
nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi
sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.
E. Implikasi Landasan Filsafat Ilmu Dalam Pendidikan
1.
Implikasi Bagi Guru
Apabila
kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat
pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja
professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus
dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin
kompetensi seorang tukang.
Disamping
penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus
menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan
cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan
mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan
tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan
pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun
tujuan-tujuan yang lebih abstrak.
Oleh
karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta
non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga
kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan
(tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalm
perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan
instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik dengan batasan-batasan
behavioral secara berlebihan.
Di muka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan
subjek didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam
masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses
pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan
subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman,
keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan
sementara, bukan hakiki.
Oleh
karena itu maka kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu
sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan,
tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk
membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn bagi subjek didik untuk
menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure
dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk
masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan
yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.
Apabila
demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya
akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam
masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu
sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan
lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja,
melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah
otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah
pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan
seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan
karya yang dikembangkan dan dibina.
Perlu
digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu dan hakekat.
Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk
yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena
itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana
sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek
didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan
masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses
pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot
yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan
pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan
penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan
menghasilkan pembudayaan manusia.
2.
Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan
Tidaklah
berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori
tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan
karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan
salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan
pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau
kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka
yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya.
Hal
diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada
diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran
yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat
dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang
menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak
program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan
didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya
ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang
menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang
memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa
bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat.
Tentu
saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya
secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau
seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga
kependidikan yang efektif.
Sebaiknya
teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang
memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan
program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu
melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas
professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan
mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli,
termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan
serta pilihan nilai yang dianut masyarakat.
Rambu-rambu
yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan
kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan
kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu
bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian,
perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai
perancang dan implementasi program, maupun didalam “mempertahankan” program
dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan
konseptual.
KESIMPULAN
Landasan
filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan
“kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta melaksanakan
tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari
tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi,
antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan
konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka
konseptual kependidikan.
Dengan
demikian maka landasan filsafat pendidikan harus tercermin didalam semua,
keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik instruksional
maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta
perbuatan guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.
Akhirnya,
sebagai pekerja professional guru dan tenaga kependidikan harus memperoleh
persiapan pra-jabatan guru dan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh
seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari
konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Jujun S Suriasumantri, 1993, Filsafat ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka sinar Harapan.
Abbas Hamami M.
Epistimologi Masa Depan dalam jurnal filsafat. Seri 1, Februari 1990.
Conny Semiawan, th.I Setiawan, Yufiarti, 2005, Panorama Filsafat Ilmu landasan
Perkembangan Ilmu Sepanjang Masa, Mizan.
Perkembangan Ilmu Sepanjang Masa, Mizan.
Ki Hajar Dewantara, l950, Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:
Majelis Luhur
Muhaimin dan
Abdul Mujib, 1993, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofik dan
Kerangka Dasar Oprasionalnya, Bandung, PT Trigenda
Raya
Makalah ini ditulis oleh Ahmad Muflihin sebagai tugas mata kuliah Filsafat Ilmu di Prodi Pendidikan Agama Islam, FIAI UII, Yogyakarta.