Biografi Sir Muhammad Iqbal
PENDAHULUAN
Muhammad Iqbal adalah seorang pujangga Islam yang telah diakui
ketenarannya baik di Eropa maupun di negeri-negeri timur. bahkan seorang
wartawan Inggris pada waktu itu (tahun 1922) memberi saran pada pemerintahnya
untuk memberi gelar Sir pada penyair yang besar itu.
Filsafat Iqbal adalah filsafat harapan, kerja, harapan, dan
pengorbanan diri. Sedangkan seruannya adalah seruan kehormatan, kemuliaan, dan
kebebasan. Ia tidak jemu-jemunya dalam mendorong berbagai bangsa untuk berjuang
demi kebebasan dan kehormatannya.
Sajak-sajak Iqbal, hingga kini menjadi lagu-lagu perjuangan Kaum
Muslim di India. Tidak ragu lagi bahwa sajak-sajak Iqbal telah menyalakan api
perjuangan melawan kekuasaan Inggris di India dan membekali para mujahid dengan
harapan, keteguhan dan pengorbanan.
Makalah ini membahas lebih
lanjut mengenai sastrawan terkemuka tersebut. Bagaimanakah latar belakang
keluarga, pendidikan, dan karir pekerjaannya? Bagaimanakah pemikiran-pemikirannya?
Serta apakah kontribusinya atas kemerdekaan Pakistan?
PEMBAHASAN
MUHAMMAD IQBAL
(1873-1938)
A.
BIOGRAFI
1.
Keluarga
Menurut Wahhab (dalam Usman, 1985: 13) keluarga Iqbal berasal dari
sebuah kasta Brahma Kasymir. Nama lengkapnya adalah Muhammad Iqbal bin Muhammad
Nur bin Muhammad Rafiq. Ia lahir pada 24 Dzul Hijjah 1289 H/ 22 Februari 1873 M
di Sialkot, Punjab, India. Iqbal, memulai pendidikan pada masa kanak-kanaknya
pada ayahnya. Kemudian ia dimasukkan di sebuah maktab (surau) untuk
belajar al-Qur’an.
Dalam bahara arab, kata Iqbal diartikan Pujangga muslim atau
kejayaan. Apabila melihat atas kontribusinya dalam dunia Islam pada abad
pertengahan ini, Iqbal memang telah diakui sebagai seorang Pujangga muslim yang
telah membawa kejayaan bagi umat Islam melalui kontribusi pemikirannya.
Ayahnya adalah seorang sufi, yang bekerja keras demi agama dan
kehidupan. Dituturkan darinya, bahwa suatu ketika, sewaktu ia melihat Iqbal
senang membaca al-Qur’an, maka katanya: “bila kamu ingin memahami al-Qur’an,
bacalah seakan ia diturunkan padamu”.
Ibunda Iqbal, Imam Bibi, juga dikenal sangat relegius. Ia membekali
kelima anaknya, tiga putri dan dua putra, dengan pendidikan dasar dan disiplin
keislaman yang kuat. Di bawah bimbingan kedua orangtuanya yang taat inilah
Iqbal tumbuh dan dibesarkan. Kelak di kemudian hari, Iqbal sering berkata bahwa
pandangan dunianya tidaklah dibangun melalui spekulasi filosofis, tetapi diwarisi
dari kedua orangtuanya tersebut.
2.
Pendidikan dan Karir Pekerjaannya
Menurut Wahhab (dalam Usman, 1985: 13) anak ini kemudian dimasukkan
di Scottish Mission School, Sialkot. Dituturkan bahwa ayahnya memasukkannya di
sekolah ini agar bisa mendapat bimbingan karibnya, Mir Hasan. Iqbal
menyelesaikan belajarnya di Scottish Mission School pada tahun 1885. Waktu itu
ia berumur dua puluh dua tahun.
Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, ia pindah ke Lahore.
Di kota ini, ia masuk Government College untuk melanjutkan studinya. Pada tahun
1897 Iqbal menyelesaikan studinya dan memperoleh gelar B. A. Kemudian ia
mengambil program M. A. di bidang filsafat.
Setelah Iqbal menyelesaikan studinya di Government College, ia
ditunjuk sebagai pengajar Sejarah dan Filsafat di Oriental College Lahore.
Kemudian ia diangkat sebagai pengajar Filsafat dan bahasa Inggris di Government
College yang mana ia menempuh studi sebelumnya. Berkat dorongan Sir Thomas
Arnold, Iqbal mempunyai keinginan yang keras untuk belajar ke Eropa. Umurnya
waktu itu tiga puluh dua tahun. di Inggris ia masuk Universitas Cambridge,
belajar filsafat di bawah bimbingan Dr. McTaggart. Untuk keperluan
penelitiannya yang lebih lanjut ia pergi ke Munich di mana ia mempersembahkan
disertasinya: “The Development of Metaphysics in Persia” dan memperoleh gelar
Doktor dalam filsafat. Selanjutnya ia kembali lagi ke London, mempelajari hukum
dan akhirnya lulus ujian tentang keadvokatan. Selain itu, ia masuk di School of
Political Sciences. Iqbal tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun.
Kemudian ia kembali ke tanah airnya pada tahun 1908, Wahhab (dalam Usman, 1985,
25).
Dengan pengetahuan hukum dan gelar yang ia peroleh di bidang itu
selama di London, maka setelah kembali ke Lahore ia berpraktek sebagai advokat.
Profesi ini ia lakukan untuk sekedar memperoleh penghasilan saja dan ia jabat
hingga ke tahun 1934, empat tahun sebelum ia meninggal dunia.
3.
Meninggal Dunia
Penyakit pun mulai menimpa sang penyair produktif yang seakan tidak
akan pernah tertimpa penyakit, bosan, atau akan meninggal itu. Ia menderita
sakit kencing batu. Ia dirawat oleh tabib, dan sakitnya agak membaik. Kemudian
pada tahun 1935, ia kehilangan suaranya. Pada tahun ini pula, isterinya
meninggal dunia. Ini menimbulkan kesedihan baginya.
Sakitnya mencapai puncaknya pada April 1938. Keadaannya yang paling
kritis terjadi pada tanggal 19 April 1938. Para dokterpun telah berusaha
semampu mereka dalam meringankan sakitnya sedangkan Iqbal sendiri telah merasa
bahwa ajalnya telah dekat dan tanpa rasa takut ia mengemukakannya. Beberapa
hari sebelum meninggal dunia, ia selalu menekankan bahwa dalam menghadapi
kematian, hendaknya seorang Muslim menerimanya dangan rasa gembira. Sehari
sebelum meninggal dunia, ia berkata pada sahabatnya dari Jerman: ”Aku seorang
Muslim yang tidak takut pada kematian. Apabila ajal itu datang, ia akan
kusambut dengan tersenyum”, Wahhab (dalam Usman, 1985, 39).
Dituturkan dari Raja Hasan – waktu malam meninggalnya Iqbal, ia
mengunjungi Iqbal – bahwa Iqbal, sepuluh menit sebelum ia meninggal dunia,
membecakan sajaknya:
Melodi perpisahan kan bergema kembali atau tidak
|
Angin Hijaz kan berhembus kembali atau tidak
|
Saat-saat hidupku kan berakhir
|
Pujangga lain kan kembali atau tidak
|
dan
sajak Iqbal:
Kukatakan padamu ciri seorang Mu’min
|
Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir
|
Demikian itulah keadaan Iqbal pada waktu menyambut kematiannya. Ia
meletakkan tangannya pada jantungnya, dan katanya: ”kini, sakit telah sampai di
sini”. Ia merintih sebentar dan kemudian dengan tersenyum ia kembali pada
Khaliknya, tanpa merasakan dampak sakaratul maut. Waktu meninggal dunia, usia
Iqbal 60 tahun Masehi, 1 bulan, 26 hari, atau 63 tahun Hijri, 1 bulan, 29 hari.
B.
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN
1.
Filsafat
a.
Filsafat Khudi
Konsep tentang hakikat ego atau individualitas
merupakan konsep dasar dari filsafat Iqbal, dan menjadi alas penopang
keseluruhan struktur pemikirannya. Masalah ini dibahas dalam karyanya yang
ditulis dalam bahasa Persia dengan bentuk matsnawi berjudul Asrar-I Khudi;
kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi dan dalam kumpulan ceramah yang
kemudian dibukukan dengan judul The Reconstruction of Relegious Thought in
Islam.
Menurut Iqbal, khudi, merupakan suatu kesatuan
yang riil atau nyata, adalah pusat dan landasan dari semua kehidupan, merupakan
suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional. Arti terarah secara
rasional, menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk, melainkan
suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sintesis yang
melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang bercerai-berai
dari organisme yang hidup ke arah suatu tujuan konstruktif. Iqbal menerangkan
bahwa khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan. Hal
ini tercantum pada beberapa matsnawinya dalam Asrar-I Khudi (http://untunx83.multiply.com/journal).
Menurut Iqbal, untuk mencapai kesempurnaan diri ada tiga tahap yang
harus dilalui yaitu:
1.
setiap
individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk
dan hukum ilahiah.
2.
ia
harus belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinya
sendiri melalui ketakutan dan cintanya kepada Tuhan serta ketakbergantungannya
kepada dunia.
3.
individu
menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual.
Apabila
ketiga syarat tersebut telah dijalaninya, maka ia dianggap telah memenuhi
syarat untuk menjalankan perannya sebagai wakil tuhan untuk memerintah dan
menjadi guru dunia, menampilkan sifat-sifat ilahiah dalam mikrokosmos.
b.
Filsafat
Ketuhanan
Tuhan sebagai objek kajian metafisika memiliki
kekhususan dibanding kedua objek metafisika lainnya. Apabila manifestasi
lahiriah dari semesta maupun jiwa dapat ditangkap indra, maka hal yang sama
tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak ditangkap
indra.
Metafisika yang mengkaji tentang Tuhan disebut
filsafat ketuhanan (teologi naturalis) untuk membedakannya dari teologi
adikodrati atau teologi wahyu. Apabila filsafat ketuhanan mengambil Tuhan
sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh pengkajiannya, maka teologi wahyu
sebagai titik awal pembahasannya.
Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian
kebenaran adanya Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat
ketuhanan tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin
menggarisbawahi bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang tanpa sebab maka
kedudukan benda-benda yang relatif-kontigen tidak dapat dipahami akal.
Paling tidak, terdapat tiga argumen besar dalam
filsafat ketuhanan: argumen kosmologis, argumen teologis, dan argumen
ontologis. Argumen kosmologis mengemukakan bahwa Tuhan harus ada, karena kalau
tidak maka akan ada rangkaian kausalitas yang tak terhingga untuk menjelaskan
peristiwa-peristiwa. Argumen teologis mengemukakan bahwa dari struktur
finalitas realitas dapat ditarik kesimpulan adanya Sang Pencipta yang
menetapkan struktur tersebut, sedangkan argumen ontologis mengemukakan bahwa
Tuhan ada karena kita memikirkannya dan memprediksikan eksistensi terhadap
Dirinya (http://untunx83.multiply.com/journal).
Filsafat ketuhanan Iqbal berbeda dengan
filsafat ketuhanan kontemplatif karena Iqbal berangkat dari filsafat manusia
yang menekankan pengetahuan langsung tentang keberadaan ego atau diri yang
bebas-kreatif.
Menurut Iqbal agama bukan sekadar sekumpulan
ajaran untuk menekan aktivitas nafsu instingtif manusia (agama sebagai
instrumen moral) seperti diklaim para psikoanalisis (Freud, Jung). Bagi Iqbal,
agama lebih dari sekadar etika yang berfungsi membuat orang terkendali secara
moral. Fungsi sesungguhnya adalah mendorong proses evolusi ego manusia di mana
etika dan pengendalian diri menurut Iqbal hanyalah tahap awal dari keseluruhan
perkembangan ego manusia yang selalu mendampakan kesempurnaan. Dengan kata
lain, agama justru mengintegrasikan kembali kekuatan-kekuatan pribadi
seseorang.
2.
Politik
Tahun 1908 ia masuk di Komite Inggris Liga Muslim se-India. Ia juga
terpilih menjadi anggota Majelis Legislatif Punjab dan menjadi salah satu
pemikir politik. Pada tahun 1927 ia memasuki kehidupan politik ketika dipilih
sebagai anggota Dewan Perwakilan Punjab, dan ia tetap menjadi anggota selama
tiga tahun. Pada tahun 1930 Iqbal ditunjuk sebagai Presiden sidang tahunan dari
Liga Muslim yang berlangsung di Allahabad (Bilgrami, 1979: 18).
Dia mempunyai ide untuk membagi India berdasarkan agama, ras, dan
bahasa. Pidato kepresidenan Liga Muslim India tahun 1930 menjadi dasar
konseptual bagi pembentukan Negara Pakistan, walaupun ia tidak menyebutkan nama
Pakistan secara eksplisit. Sebagai seorang pemikir, ia sangat prihatin dengan
keadaan kaum muslim India sehingga ia mengajukan konsep pembentukan negara bagi
golongan kaum muslim yang berdasar Islam dan bebas dari intervensi Pemerintah India.
Iqbal menegaskan sebagai berikut. Saya ingin melihat Punjab, daerah perbatasan
utara, Sind, dan Baluchistan bergabung menjadi satu Negara (Karim, 2011: 321). Pada
tahun 1935, yakni waktu diadakannya reorganisasi terhadap Liga Muslim, Iqbal
terpilih sebagai Ketua Cabang Liga Muslim di Punjab. Hal itu terjadi tiga tahun
sebelum ia meninggal dunia (Wahhab, 1985: 37).
Bagi Iqbal, agama yang benar adalah Islam, organisasi yang paling
baik adalah tata pemerintahan dan struktur Islam yang universal, dan pemimpin
umat manusia yang paling tepat adalah millat Muslim. Dengan kata lain,
Iqbal diilhami oleh suatu wawasan mengenai Negara Islam dari millat Muslim
yang bersatu, tidak lagi dipilah-pilah oleh pertimbangan-pertimbangan rasial
atau territorial. Millat adalah persaudaraan Muslim yang bebas dan utuh
dengan Ka’bah sebagai porosnya, serta dipertautkan oleh kecintaan pada Allah
dan ketaatan pada Rasul (Ahmed, 1983: 13).
Sepanjang melibatkan politik India, gagasan Iqbal mengenai Pakistan
dicapai dengan sepenuhnya menyerahkan kawasan India pada kaum Muslim, kemudian
menggabungkannya dengan dengan negara-negara Islam yang bertetangga di bawah
suatu nama bersama (Ahmed, 1983: 32). Akhirnya, pada 14 Agustus 1947 Pakistan
memperoleh kemerdekaannya dan beberapa menit kemudian kemerdekaan India
diumumkan (Karim, 2011: 321).
3.
Sufi
Kehidupan sufi memiliki tempat tersendiri di hati Muhammad Iqbal.
Bahkan ia menyebutkan bahwa Sufi adalah ahli jiwa yang mempunyai kedudukan
tinggi dalam Islam. Akan tetapi, Iqbal sendiri mengkritik kehidupan sufi yang
ada pada zamannya. Hal tersebut dikarenakan, menurutnya Sufi yang seharusnya
menjadi tempat bimbingan kerohanian malah menjadi Sufi yang seolah tidak peduli
terhadap kehidupan sosial ekonomi orang Islam. Kritikan Iqbal tersebut dapat
dilihat dalam sajaknya “Kepada Saqi, Penuang Anggur”.
Kaum sufinya dulu dikenal sebagai Kesatria Tuhan yang tak
kenal rasa takut
Tidak tertandingi dalam cinta dan makrifat
Namun kini mereka telah berubah jadi pesilat lidah
Dan tukang khayal yang menyedihkan
Tidak tertandingi dalam cinta dan makrifat
Namun kini mereka telah berubah jadi pesilat lidah
Dan tukang khayal yang menyedihkan
Pemikiran Iqbal dalam kehidupan Sufi yakni tercermin
dalam pendapatnya mengenai konsep Insan kamil yang digagas oleh tokoh sufi
kenamaan Ibnu Arabi. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW
sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.
Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin,
yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan.
Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi
SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan makhluk moralis,
yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan dalam
dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi.
Sang mukmin menjadi tuan terhadap nasibnya sendiri dan
secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insane kamil
dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada hukum; kedua,
penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi; dan
ketiga, kekhalifahan Ilahi.
4.
Pendidikan
Dalam Konferensi Meja Bundar, ia menjadi anggota dalam
komisi-komisi yang meneliti tentang masalah perbaikan pendidikan di India. Pada
tahun 1933, ia bersama-sama Syeikh Sulaiman al-Nadavi, dan Sir Ras Masood
diundang ke Kabul, untuk meninjau pendidikan di sana pada umumnya, dan sistem
pendidikan tinggi di Kabul pada khususnya. Banyak saran-saran mereka yang
dilaksanakan oleh pemeritah Afghanistan.
Sumbangan terbesar Iqbal di dunia pendidikan dan pengajaran ialah
filsafat kepribadiannya. Ini ia terapkan pada pendidikan, pengajaran, dan seni
dalam kebanyakan sajak-sajaknya. Mengenai filsafat pendidikan menurut Iqbal,
ini telah diuraikan oleh Prof. K.G. Sayidain dalam karyanya Iqbal’s
Educational Philosophy (Wahhab, 1985: 28).
5.
Ekonomi
Meskipun di dunia luas lebih dikenal sebagai
filosof, sastrawan atau juga pemikir politik, Muhammad Iqbal sebenarnya juga
memiliki pemikiran-pemikiran ekonomi yang brilian. Pemikirannya memang tidak
berkisar hal-hal teknis dalam ekonomi, tetapi lebih kepada konsep-konsep umum
yang mendasar. Dalam karyanya Puisi dari Timur ia menunjukkan tanggapan Islam
terhadap Kapitalisme Barat dan reaksi ekstrim dari Komunisme. Iqbal
menganalisis dengan tajam kelemahan Kapitalisme dan Komunisme dan menampilkan
sesuatu pemikiran “poros tengah” yang dibuka oleh Islam. Semangat Kapitalisme,
yaitu memupuk capital atau materi sebagai nilai dasar sistem ini,
bertentangan dengan semangat Islam. Demikian pula semangat Komunisme yang
banyak melakukan paksaan kepada masyarakat juga bertentangan dengan nilai-nilai
Islam (Chamid, 2010: 304-305).
Pada zaman itu, umat Islam identik dengan
kemiskinan. Hal tersebut dikarenakan mayoritas orang yang memeluk agama Islam
hidup dalam tingkat ekonomi yang rendah. Menurut Iqbal, itu terjadi dikarenakan
etos kerja dari umat Islam yang semakin melemah. Muslim tradisional yang hidup
pada zaman itu bersikap konservatif atas kemajuan yang terjadi. Mereka
berpikiran picik dan gemar bertaklid pada ulam yang pandangan keagamaannya
mandeg total. Karena golongan ini sangat benci kepada Inggris, maka segala hal
yang berasal dari barat mereka tolak. Mereka tumbuh menjadi golongan yang picik
dan tertutup.
Mereka tidak mau mempelajari ilmu pengetahuan
modern sebab berasal dari barat dan tidak juga mau belajar bahasa Inggris untuk
meningkatkan pengetahuannya. Iqbal pun memandang golongan ini sebagai kelompok
sosial yang telah kehilangan khudi atau dirinya yang sejati. Di tangan mereka
agama jatuh menjadi sehimpunan upacara dan bentuk peribadatan formal yang tidak
membawa transformasi dan perubahan yang bermakna kepada penganutnya. Oleh sebab
itu, dalam hal ilmu pengetahuan maupun perekonomian, umat Islam cenderung
stagnan tanpa ada ghirah untuk mencapai kemajuan.
Keadilan sosial merupakan aspek yang mendapat
perhatian besar dari Iqbal, dan ia menyatakan bahwa Negara memiliki tugas yang
besar untuk mewujudkan keadilan sosial ini. Zakat, yang hukumnya wajib dalam
Islam, dipandang memiliki posisi yang strategis bagi penciptaan masyarakat yang
adil (Chamid, 2010: 305).
6.
Karya-karya
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal telah menghasilkan berbagai
macam karya sastra dan semuanya telah diakui serta telah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa di dunia. Karya-karya tersebut di antaranya: Ilm al-Iqtishad,
Asrar-i Khudi, Payam-i Masyriq, dan lain-lain.
KESIMPULAN
Muhammad Iqbal berasal dari sebuah kasta Brahma Kasymir. Nama
lengkapnya adalah Muhammad Iqbal bin Muhammad Nur bin Muhammad Rafiq. Ia lahir
pada 24 Dzul Hijjah 1289 H/ 22 Februari 1873 M di Sialkot, Punjab, India. Ia
dibesarkan dalam pengawasan kedua orang tuanya yang shaleh dan taat beragama.
Ia memulai karir pendidikannya di Scottish Mission School –
Sialkot. Di sana ia dididik oleh Mir Hasan, seorang guru yang ahli dalam bahasa
Arab dan Persia. Kemudian melanjutkan sekolahnya di Government College (sekolah
tinggi pemerintah) di Lahore. Dengan dibimbing oleh seorang orientalis terkenal
yaitu Sir Thomas Arnold, pada tahun 1897 Iqbal mendapat gelar BA dan mendapat
gelar Master pada bidang filsafat tahun
1899.
Dengan kecerdasannya, kemudian dia diangkat menjadi
pengajar di Government College, dan di sini awal mulainya Iqbal menulis
buku-buku dan syair-syairnya. Pada tahun 1905 akhirnya Iqbal melanjutkan
studinya di Trinity College, Universitas Cambridge, London serta mengikuti
kursus advokasi (pengacara) di Lincoln Inn. Pemikiran
Muhammad Iqbal adalah filsafat harapan, kerja, jihad, dan pengorbanan diri. Kontribusinya
dalam membentuk Negara Pakistan dapat terlihat pada saat Pidato kepresidenan
Liga Muslim India tahun 1930, yang menjadi dasar konseptual bagi pembentukan
Negara Pakistan, walaupun ia tidak menyebutkan nama Pakistan secara eksplisit.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Agustina, Nurul dan Ihsan Ali Fauzi. 1992. Sisi Manusiawi Iqbal.
(terj.). Bandung: Mizan
Anggota
IKAPI. 2008. The Recognition of Thought in Islam. (terj.), Rekonstruksi
Pemikiran Agama Dalam Islam. Yogyakarta: Jalasutra
Chamid,
Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Efendi,
Djohan. 1979. Glimpses of Iqbal’s Mind and Thought. Bilgrami. (terj.),
Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-Pikirannya. Jakarta: Bulan Bintang
Hikmat,
Asep. 1983. Iqbal and the Recent Exposition. Ahmed, M. Aziz. (terj.),
Pemikiran Politik Iqbal. Bandung: Risalah Bandung
Karim,
M. Abdul. 2011. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:
Bagaskara.
Usman,
A. Rofi’. 1985. Iqbal: Siratuh wa Falsafatuh wa Syi’ruh. Azzam, A.
Wahhab. (terj.), Filsafat dan Puisi Iqbal. Bandung: Pustaka
Internet
http://www.biografitokohdunia.com/2011/06/biografi-muhammad-iqbal.html, diakses pada tanggal 1 Desember 2011.
http://untunx83.multiply.com/journal/item/67?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem diakses pada tanggal 1 Desember 2011.
Makalah ini ditulis oleh Ahmad Muflihin sebagai tugas mata kuliah Pemikiran Islam Klasik & Kontemporer di Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia.