Berbagai Macam Kesulitan Belajar Siswa
PENDAHULUAN
Sebagai seorang guru yang sehari-hari mengajar di
sekolah, tentunya tidak jarang harus menangani anak-anak yang mengalami
kesulitan dalam belajar. Anak-anak yang sepertinya sulit sekali menerima materi
pelajaran, baik pelajaran membaca, menulis, serta berhitung. Hal ini terkadang
membuat guru menjadi frustasi memikirkan bagaimana menghadapi anak-anak seperti
ini. Demikian juga para orang tua yang memiliki anak-anak yang memiliki
kesulitan dalam belajar. Harapan agar anak mereka menjadi anak yang pandai,
mendapatkan nilai yang baik di sekolah menambah kesedihan mereka ketika melihat
kenyataan bahwa anak-anak mereka kesulitan dalam belajar.
Akan tetapi yang lebih menyedihkan adalah perlakuan yang
diterima anak yang mengalami kesulitan belajar dari orang tua dan guru yang
tidak mengetahui masalah yang sebenarnya, sehingga mereka memberikan cap kepada
anak mereka sebagai anak yang bodoh, tolol, ataupun gagal.
Fenomena ini kemudian menjadi perhatian para ilmuan yang
tertarik dengan masalah kesulitan belajar. Keuntungannya ialah, mereka mencoba
menemukan metode-metode yang dapat digunakan untuk membantu anak-anak yang
mengalami kesulitan belajar tersebut tetap dapat belajar dan mencapai apa yang
diharapkan guru dan orang tua.
Dalam tulisan ini, kita akan mendapati apa sebenarnya
yang dimaksud masalah kesulitan belajar, faktor apa yang menjadi penyebabnya,
serta metode yang dapat digunakan untuk membantu anak yang mengalami
masalah kesulitan belajar.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pada dasarnya kesulitan
belajar tidak hanya dialami oleh siswa yang berkemampuan rendah saja, tetapi
juga dialami oleh siswa berkemampuan tinggi. Selain itu, kesulitan belajar juga
dapat dialami oleh siswa yang berkampuan rata-rata (normal) yang disebabkan
oleh faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik sesuai
dengan harapan. Dalam referensi lain juga dijelaskan mengenai pengertian
kesulitan belajar. Kesulitan belajar adalah suatu kondisi proses belajar yang
ditandai hambatan–hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Kesulitan belajar ini tidak
selalu disebabkan karena faktor intelegensi yang rendah (kelainan mental ),
akan tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor–faktor non–intekgensi. Dengan demikian,
IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar.
Menurut Hammill, kesulitan belajar adalah beragam bentuk
kesulitan yang nyata dalam aktivitas mendengarkan, bercakap-cakap, membaca,
menulis, menalar, dan/atau dalam berhitung. Gangguan tersebut berupa gangguan intrinsik yang diduga karena adanya
disfungsi sistem saraf pusat. Kesulitan belajar bisa terjadi bersamaan dengan
gangguan lain (misalnya gangguan sensoris, hambatan sosial, dan emosional) dan
pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya atau proses pembelajaran yang
tidak sesuai). Gangguan-gangguan eksternal tersebut tidak menjadi faktor
penyebab kondisi kesulitan belajar, walaupun menjadi faktor yang memperburuk
kondisi kesulitan belajar yang sudah ada.
B. Faktor penyebab Kesulitan Belajar
Faktor
yang dapat menyebabkan kesulitan belajar di sekolah itu banyak dan beragam.
Apabila dikaitkan dengan faktor-faktor yang berperan dalam belajar, penyebab
kesulitan belajar tersebut dapat kita kelompokkan menjadi dua bagian besar,
yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa (faktor internal) dan faktor
yang berasal dari luar diri siswa (faktor eksternal).
Adapun
faktor-faktor penyebab kesulitan belajar itu, dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
A. Faktor
internal, yang meliputi:
1. Faktor
fisiologi
2. Faktor
psikologi
B. Faktor eksternal,
yang meliputi:
1. Faktor
orang tua
2. Faktor
sekolah
3. Faktor
media masa dan lingkungan sosial
Berikut
ini akan diuraikan tentang faktor-faktor penyebab kesulitan belajar, baik
faktor internal maupun faktor eksternal.
a. Faktor Internal
1). Faktor
Fisiologi
Seorang
anak yang sakit atau kurang sehat akan mengalami kelemahan fisik, sehingga
saraf sensorik dan motoriknya lemah akibatnya rangsangan yang diterima melalui
indranya tidak dapat diteruskan ke otak. Anak yang kurang sehat akan mengalami
kesulitan belajar, sebab ia mudah lelah, pusing, mengantuk,daya konsentrasinya
berkurang dan kurang bersemangat dalam belajar.
Ahmad
Thanthowi (1991 : 106) mengatakan: “Karena sakit-sakitan, maka menjadi sering
meninggalkan sekolah. Demikian juga dalam upaya belajar di rumah frekuensi
belajar dapat menjadi menurun. Maka badan yang sehat dan segar amat berpengaruh
bagi tercapainya sukses belajar.”
Wasty
Soemanto, mengatakan bahwa: “Orang yang belajar membutuhkan kondisi badan yang
sehat. Orang yang badanya sakit akibat penyakit-penyakit tertentu serta
kelelahan tidak akan dapat belajar dengan efektif. Cacat fisik juga
mengganggu hal belajar.” (Soemanto, 1990 : 121)
Gangguan
serta cacat mental pada seseorang juga sangat mengganggu hal belajar orang yang
bersangkutan. Bagaimana orang dapat belajar dengan baik apabila ia sakit
ingatan, sedih, frustrasi atau putus asa.”
Bila
seorang anak mengalami sakit yang lama, maka sarafnya akan bertambah lemah,
sehingga ia tidak dapat mengikuti pelajaran untuk beberapa hari dan
pelajarannya pun tertinggal. Selain itu cacat tubuh pun dapat menyebabkan
seorang anak mengalami kesulitan belajar.
2). Faktor
Psikologi
Belajar
memerlukan kesiapan rohani dan kesiapan mental yang baik, dan yang termasuk
dalam faktor psikologi adalah:
a.
Inteligensi
Menurut
David Wechsler, Intelegensi adalah:Kemampuan individu untuk berfikir dan
bertindak secara terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara
efektif (Sarwono, 1991 : 71).
Faktor ini
besar sekali pengaruhnya terhadap kemajuan belajar anak. Bila intelegensi
seseorang memang rendah dan ia tidak mendapat bantuan dari pendidik dan orang
tuanya, maka usaha dan jerih payahnya dalam belajar akan memperoleh hasil yang
kurang baik atau mungkin tidak akan berhasil.
b. Bakat
Bakat
adalah potensi atau kecakapan dasar yang dibawa sejak lahir (Ahmadi, 1991 :
78).
Setiap
individu memiliki bakat yang berbeda-beda dan seseorang akan mempelajari
sesuatu sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Apabila seorang anak mempelajari
suatu bidang studi yang bertentangan dengan bakatnya, maka ia akan merasa bosan
dan cepat putus asa.
c. Minat
Seorang
anak yang tidak memiliki minat terhadap suatu pelajaran akan menimbulkan
kesulitan belajar. Minat yang timbul dari kebutuhan belajar siswa, akan menjadi
pendorong dalam melaksanakan belajar.
“Ada tiga
komponen yang harus dimiliki anak, agar dirinya dapat melakukan kegiatan proses
belajar yaitu: Minat, Perhatian, Motivasi. (Surya, 2003 : 6)
Motivasi
memegang peranan penting dalam proses belajar. ’Motivasi berfungsi menimbulkan,
mendasari dan mengarahkan perbuatan belajar’ (Ahmadi, 1991 : 79).
Seseorang
yang motivasinya lemah tampak acuh tak acuh terhadap pelajaran, mudah putus
asa, perhatiannya tidak tertuju pada pelajaran dan sering meninggalkan pelajaran
yang mengakibatkan kesulitan dalam belajar.
b. Faktor
Eksternal
1) Faktor
orang tua
Keluarga
merupakan pusat pendidikan utama dan pertama, tetapi dapat juga sebagai faktor
penyebab kesulitan belajar. Dalam hal ini orang tua memiliki peranan penting
dalam rangka mendidik anaknya,karena pandangan hidup, sifat dan tabiat seorang
anak, sebagian besar berasal dari kedua orang tuanya.
“Tugas
utama keluarga dalam pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi
pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabi’at anak
sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga lain.”
(Hasbullah, 1996 : 89)
Yang
termasuk faktor ini antara lain adalah:
a.
Bimbingan dan didikan orang tua
Orang tua yang tidak tahu atau kurang memperhatikan
kemajuan belajar anak-anaknya akan menjadi penyebab kesulitan belajar anak-anak
memerlukan bimbingan orang tua agar bersikap dewasa dan tanggung jawab belajar
tumbuh pada diri anak. Orang tua yang bekerja dapat mengakibatkan anak tidak
memperoleh bimbingan atau pengawasan dari orang tuanya, sehingga anak akan
mengalami kesulitan belajar.
b.
Hubungan orang tua dan anak
Faktor ini
penting sekali dalam menentukan kemajuan belajar anak. Kasih sayang dari orang
tua menimbulkan mental yang sehat bagi anak. Kurangnya kasih sayang akan
menimbulkanemosional insecurity. Seorang anak akan mengalami kesulitan
belajar apabila tidak ada atau kurangnya kasih sayang dari orang tua.
c. Suasana
rumah atau keluarga
Suasana rumah yang sangat ramai atau gaduh,
mengakibatkan anak tidak dapat belajar dengan baik. Anak akan selalu terganggu
konsentrasinya, sehingga sukar belajar.
d. Keadaan
ekonomi keluarga
Keadaan
ekonomi digolongkan dalam:
- Ekonomi yang kurang atau miskin
keadaan ini akan menimbulkan kurangnya alat-alat belajar, kurangnya biaya dan
anak tidak mempunyai tempat belajar yang baik. Ketiga hal tersebut akan menjadi
penghambat bagi anak untuk dapat belajar dengan baik dan hal tersebut juga
dapat menghambat kemajuan belajar anak.
- Ekonomi yang berlebihan (kaya). Keadaan ini
sebaiknya dari keadaan yang pertama, yaitu ekonomi keluarga yang melimpah ruah.
Mereka akan menjadi malas belajar karena ia terlalu banyak bersenang-senang
mungkin orang tua tidak tahan melihat anaknya belajar dengan bersusah payah
keadaan seperti ini akan dapat menghambat kemajuan belajar.
2) Faktor
sekolah
Yang
dimaksud dengan faktor sekolah antara lain adalah:
a. Guru
Guru dapat menjadi penyebab kesulitan belajar
apabila guru tidak memenuhi syarat sebagai seorang pendidik, contohnya: hubungan
guru kurang baik dengan siswa dan guru menuntut standar pelajaran di atas
kemampuan anak. Seorang guru dituntut harus dapat mengelola komponen-komponen
yang terkait dalam mendidik para siswa.
“Dalam komponen- komponen yang berpengaruh
terhadap hasil belajar, komponen guru lebih menentukan karena ia akan mengelola
komponen lainnya sehingga dapat meningkatkan hasil proses belajar mengajar.”
(Ladjid, 2005 : 114)
Alat pelajaran yang kurang lengkap membuat
penyajian pelajaran tidak baik. Terutama pelajaran yang bersifat praktikum,
kurangnya alat laboratorium akan banyak menimbulkan kesulitan dalam belajar.
c. Kondisi gedung
Apabila gedung sekolah dekat dengan
keramaian, ruangan gelap dan sempit maka situasi belajar akan kurang baik
karena sangat mengganggu konsentrasi sehingga kegiatan belajar terhambat. Dalam
belajar dibutuhkan konsentrasi penuh sehingga siswa akan dengan mudah dalam
memahami pelajaran yang sedang dibahas.
“Ruang kelas yang kotor, berdebu, dan kurang
ventilasi dapat mengganggu kesehatan, terutama pernapasan sehingga proses
belajar mengajar dapat mengalami gangguan. Demikian juga situasi dalam kelas
yang bising, ribut, tidak memungkinkan tercapainya tujuan belajar yang
diinginkan”(Thonthowi, 1991 : 1005)
d. Kurikulum
Kurikulum dapat dikatakan kurang baik apabila
bahan/materinya terlalu tinggi dan pembagian bahan/materi tidak seimbang.
“Kurikulum yang baik dan seimbang. Kurikulum
sekolah yang memenuhi tuntutan masyarakat dikatakan kurikulum itu baik dan
seimbang. Kurikulum ini juga harus mampu mengembangkan segala segi kepribadian
siswa. Di samping kebutuhan siswa sebagai anggota masyarakat.”(Slameto, 2003 :
93)
e. Waktu sekolah dan disiplin kurang
Waktu yang baik untuk belajar adalah pagi
hari, karena kondisi anak masih dalam keadaan yang optimal untuk dapat menerima
atau menyerap pelajaran. Apabila sekolah masuk siang atau sore kondisi siswa
sudah tidak optimal lagi untuk menyerap pelajaran, karena energi mereka sudah
berkurang. Selain itu pelaksanaan disiplin yang kurang juga dapat menjadi
penghambat dalam proses belajar mengajar.
Selain faktor-faktor di atas, ada pula
faktor-faktor lain yang juga dapat menimbulkan kesulitan belajar yaitu sindrom
psikologis berupa learning
disability (ketidakmampuan
belajar) (syah, 1999 : 166).
Faktor-faktor tersebut adalah:
-
Disleksia (dyslexia) yaitu ketidakmampuan belajar membaca.
-
Disgrafia (dysgraphia) yaitu ketidakmampuan belajar menulis.
-Diskalkulia
(discalculia), yaitu ketidakmampuan belajar matematika.
3) Faktor
media masa dan lingkungan sosial
a. Faktor media masa meliputi; bioskop, surat
kabar, majalah, radio, dan televisi. Hal-hal tersebut dapat menjadi penghambat
dalam belajar apabila terlalu banyak waktu yang digunakan untuk hal-hal
tersebut, hingga melupakan belajar (Ahmadi, 1991 : 87).
b. Lingkungan sosial, seperti teman bergaul,
tetangga dan aktivitas dalam masyarakat. Ketiga faktor tersebut sangat
berpengaruh terhadap proses belajar anak, misalnya anak terlalu banyak
berorganisasi, hal ini dapat menyebabkan belajar anak menjadi terbengkalai.
Riset menunjukkan bahwa apa yang terjadi selama
tahun-tahun awal kelahiran sampai umur 4 tahun adalah masa-masa kritis yang
penting terhadap pembelajaran ke depannya. Stimulasi pada masa bayi dan kondisi
budaya juga mempengaruhi belajar anak. Pada masa awal kelahiran samapi
usia 3 tahun misalnya, anak mempelajari bahasa dengan cara mendengar lagu,
berbicara kepadanya, atau membacakannya cerita. Pada beberpa kondisi, interaksi
ini kurang dilakuan, yang bisa saja berkontribusi terhadap kurangnya kemampuan
fonologi anak yang dapat membuatnya sulit membaca (Harwell, 2001).
C. Klasifikasi Kesulitan Belajar
Menurut Kirk & Gallagher (1986), kesulitan
belajar dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu developmental
learning disabilities dan kesulitan belajar akademis. Komponen utama
pada developmental learning disabilities antara lain
perhatian, memori, gangguan persepsi visual dan motorik, berpikir dan gangguan
bahasa. Sedangkan kesulitan belajar akademis termasuk ketidakmampuan pada
membaca, mengeja, menulis, dan aritmatik.
C.’1. Developmental
Learning Disabilities
C.1.a. Perhatian (attention disorder)
Anak dengan attention disorder akan berespon pada berbagai stimulus
yang banyak. Anak ini selalu bergerak, sering teralih perhatiannya, tidak dapat
mempertahankan perhatian yang cukup lama untuk belajar dan tidak dapat
mengarahkan perhatian secara utuh pada sesuatu hal.
C.1.b. Memory
Disorder
Memory disorder adalah ketidakmampuan untuk mengingat apa yang telah
dilihat atau didengar ataupun dialami. Anak dengan masalah memori visual dapat
memiliki kesulitan dalam me-recall kata-kata
yang ditampilkan secara visual. Hal serupa juga dialami oleh anak dengan
masalah pada ingatan auditorinya yang mempengaruhi perkembangan bahasa lisannya.
C.1.c. Gangguan persepsi visual dan motorik
Anak-anak dengan gangguan persepsi
visual tidak dapat memahami rambu-rambu lalu lintas, tanda panah, kata-kata
yang tertulis, dan symbol visual yang lain. mereka tidak dapat menangkap arti
dari sebuah gambar atau angka atau memiliki pemahaman akan dirinya. Contohnya
seorang anak yang memiliki penglihatan normal namun tidak dapat mengenali teman
sekelasnya. Dia hanya mampu mengenal saat orang ybs berbicara atau menyebutkan
namanya. Pada anak dengan gangguan persepsi motorik, mereka tidak dapat
memahami orientasi kanan-kiri, bahasa tubuh, visual
closure dan orientasi
spasial serta pembelajaran secara motorik.
C.1.d. Thinking
disorder
Thinking disorder adalah kesulitan dalam operasi kognitif pada pemecahan masalah
pembentukan konsep dan asosiasi. Thinking
disorder berhubungan dekat
dengan gangguan dalam berbahasa verbal. Dalam penelitian oleh Luick terhadap
237 siswa dengan gangguan dalam berbahasa verbal yang parah, menemukan bahwa
mereka memperlihatkan kemampuan yang normal dalam tes visual dan motorik namun
berada di bawah rata-rata pada tes persepsi auditori, ekspresi verbal, memori
auditori sekuensial dan grammatic
closure.
C.1.e. Language
Disorder
Merupakan kesulitan belajar yang
paling umum dialami pada anak pra-sekolah. Biasanya anak-anak ini tidak
berbicara atau berespon dengan benar terhadap instruksi atau pernyataan verbal.
C.2. Academic Learning Disabilities
Academic learning disabilities adalah kondisi yang menghambat proses belajar yaitu dalam
membaca, mengeja, menulis, atau menghitung. Ketidakmampuan ini muncul pada saat
anak menampilkan kinerja di bawah potensi akademik mereka.
D. Identifikasi Siswa Kesulitan Belajar
Menurut Harwell (2001), ada beberapa aspek penilaian yang
harus dilakukan dalam assesmen, yaitu:
1. Intelectual
assesment.. Penilaian
kemampuan intelektual ini meliputi:
§ IQ yang
bisa diukur dengan tes inteligensi terstandar,
§ Persepsi
visual untuk melihat interpretasi otak terhadap apa yang dilihatnya, dapat
diketahui dengan tes Visual
Motor Integration (VMI)
untuk anak usia 3-18 tahun atau The
Bender Visual Motor Gestalt Test untuk
usia 4-11 tahun
§ Persepsi
Auditori untuk melihat kemampuan proses menerima informasi melalui stimulus
auditori yang bisa dilakukan melalui observasi kelas atau tes-tes auditori.
§ Ingatan
untuk melihat kemampuan anak dalam mengingat informasi yang diterimanya, bisa
diketahui melalui subtes digit span WISC atau tes lainnya.
2. Academic
assesment.
Penilaian ini dilakukan untuk
menilai kemampuan membaca/mengeja, menulis, dan berhitung yang dapat dilihat
melalui test terstandar, observasi kelas dan saat bermain atau hasil kerjanya
sehari-hari.
3. Language
assesment
Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui
kemampuan bahasa anak yang meliputi pengetahuan terhadap arti kata, pengetahuan
untuk meletakkan kata dalam kalimat, dan kemampuan memanipulasi kata sehingga
memiliki arti yang bermakna. Penilaian dapat dilakukan dengan:
§ Melihat
hasil kerja anak dan bagaimana ia merespon huruf, kata, dan kalimat.
§ Bahasa yang
diucapkan, seberapa banyak kosa katanya, apakah kata yang dipilihnya sesuai
atau tidak.
§ Mendengar,
apakah anak dapat mendengar dan mengikuti pembicaraan.
§ Observasi
percakapannya dengan teman-teman sebayanya, dengan yang lebih muda, dengan yang
lebih tua. Apakah Ia bisa menyesuaikan bahasa yang tepat.
4. Health
assesment.
Penilaian ini dilakukan untuk
mengetahui riwayat kesehatan siswa.
5. Behavior
assesment.
Penilaian perilku ini dilakukan untuk
melihat dampak perilaku anak terhadap keberhasilannya di sekolah., yang dapat
dilakukan melalui observasi, wawancara dengan orangtua dan guru, penggunaan
rating scale, penggunaan inventori keprbadian, dan tes proyektif. Ketika
menilai perilaku siswa, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan,
yaitu:
§ Kemampuan
komunikasi siswa
§ Pengetahuan
mereka akan komunitasnya
§ Kemampuan
untuk mengarahkan diri (self directing)
§ Kesadaran
akan kesehatan dan keselamatan
§ Kemampuan
untuk menjaga diri sendiri
§ Perkembangan
kemampuan sosial
§ Kebiasaan
kerja dan kesadaran akan pekerjaannnya
§ Penggunaan
waktu luang
E.
Hasil Observasi dan Wawancara
Kesulitan belajar
yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus “dalam hal ini adalah tuna rungu”. Di
Sekolah Luar Biasa Wiyata Dharma 3 Ngaglik, terdapat delapan orang anak kelas B
atau Tuna Rungu. Menurut penjelasan dari Nurul Isna Alfia, (24 tahun) selaku
guru yang menangani kelas ini, bahwa permasalahan tersulit yang dihadapi oleh
anak tuna rungu adalah masalah bahasa. Akibat yang ditimbulkan dari sekedar
“tidak bisa mendengar” ini pun sangat kompleks.
Dikarenakan masalah
pendengaran, mereka juga tidak dapat berbicara dengan normal. Hal tersebut
dapat terjadi apabila anak tuna rungu ini tidak diajarkan atau diperhatikan
kebutuhannya sejak kecil atau ketika berumur 4 tahun yaitu usia ketika ia mulia
belajar mengenal lingkungannya. Dikarenakan tidak bisa mendengar, ia tidak bisa
menangkap bahasa yang dikatakan oleh orang lain sehingga ia pun tidak bisa
melatih oralnya untuk berbahasa.
Oleh sebab itu, hal
pertama yang diajarkan kepada anak tuna rungu ketika pertama kali ia masuk ke
SLB adalah konsep pemahaman dirinya terlebih dahulu. Sebab untuk mengenalkan
dirinya sendiri anak tuna rungu belum dapat melakukannya. Waktu yang dibutuhkan
untuk mengajarkan anak tuna rungu belajar mengenal dirinya sendiri kurang lebih
sekitar satu bulan dengan metode pengajarannya yaitu menggunakan oral atau
isyarat.
Sejatinya, anak
tuna rungu dapat berkomunikasi kepada orang lain menggunakan oralnya dengan
baik atau bahkan seperti orang normal. Hal itu terjadi apabila orang tua
bertindak cepat untuk merespon apa yang dialami oleh anaknya di usia dini. Akan
tetapi, entah dikarenakan orang tuanya merasa malu atau tidak mau menerima kenyataan
mengenai kondisi anaknya yang tuna rungu kemudian ia malah terkesan
menutup-nutupi dengan tidak memasukkannya di SLB atau mengajarinya dengan
melatih oralnya berbicara sejak usia dini atau sekitar usia 4 tahun.
Kemudian yang
terjadi, kebanyakan orang tua baru memasukkan anaknya ke SLB ketika sudah
berusia 8 tahun sehingga hal tersebut semakin mempersulit anak tuna rungu untuk
belajar mengenal dirinya sendiri maupun lingkungannya.
Hal tersebut sesuai
dengan yang terjadi terhadap Ajeng, (Siswi Sekolah Luar Biasa Wiyata Dharma 3
Ngaglik) yang terlambat masuk sekolah yaitu ia masuk sekolah ketika sudah berusia
8 tahun. Sehingga, walaupun sekarang sudah berumur sekitar 14 tahun ia masih
belum dapat berbicara dengan baik. Dalam usianya yang sekarang, ia merasa
kesulitan dalam belajar dikarenakan harus mengejar ketertinggalannya dalam
mengejar materi pelajaran.
Hal serupa juga
dialami oleh Mia, seorang siswi Sekolah Luar Biasa Wiyata Dharma 3 Ngaglik yang
sekarang sudah berusia 19 tahun. Dikarenakan terlambat masuk sekolah, Mia pada
awalnya sulit menangkap pelajaran dengan baik. Butuh waktu 2 bulan untuk
mengenal konsep “Aku” yaitu memahami dirinya sendiri. Dalam belajar, sebenarnya
Mia bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Akan tetapi komunikasi menjadi
penghalang yang utama. Walaupun sekarang ia sudah bisa membaca huruf atau
kata-kata serta penjumlahan, ia tidak bisa mengucapkannya dengan benar. Semua
itu dikarenakan keterlambatannya masuk ke sekolah.
Faktor keluarga
sebenarnya memiliki peran yang sangat penting dalam proses perkembangan anak.
Sebab walaupun di sekolah seorang anak telah belajar sungguh-sungguh yaitu
dengan menerima “konsep” pelajaran yang sudah terekam di otaknya akan tetapi
apabila kondisi di rumah tidak mendukung maka seorang anak akan semakin
kesulitan dalam belajar. sebagai contoh yaitu Romi, (14 tahun) siswa Sekolah
Luar Biasa Wiyata Dharma 3 Ngaglik. Di sekolah ia diajari nama-nama dari setiap
benda yang ada di sekelilingnya. Ketika diminta untuk menyebutkan, ia dapat
menyebutkannya satu persatu. Akan tetapi ketika esok harinya nama benda
tersebut ditanyakan kembali, Romi sudah lupa. Hal tersebut berlangsung terus
seperti itu. Kemudian ketika suatu saat hal tersebut ditanyakan kepada orang
tuanya, ternyata sebab utamanya yaitu penggunaan dwi bahasa yang diterima Romi.
Di sekolah Romi
diajari mengenal nama-nama benda dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi, di
rumahnya ia diajak berdialog oleh ornag-orang sekelilingnya menggunakan bahasa
Jawa. Hal tersebut tentu sangat menyulitkan Romi untuk menanamkan konsep
nama-nama benda yang telah ia pelajari. Sebab, ketika di sekolah ia mengenal
hewan yang namanya “ayam” namun ketika di rumah ia mengenalnya dengan nama ”pitik” yang tentu saja hal tersebut
menyulitkannya dalam mengenal lingkungan sekitar.
Metode mengajar
yang digunakan adalah MMR atau Metode Meternal reflektif, yaitu dengan
berdialog atau bercerita mengenai hal-hal yang dialami oleh anak didik atau
mengenal nama-nama benda yang diajarkan dengan menunjukkan atau melihat
bendanya secara langsung. Sebab, anak tuna rungu adalah anak yang memiliki
fantasi atau imajinasi rendah. Dalam pelajaran penjumlahanpun untuk memberikan
pemahaman kepada anak didik sebaiknya langsung menggunakan benda nyata. Karakteristik
anak tuna rungu yaitu: mudah tersinggung, memiliki egosentris yang tinggi, rasa
takut, rasa ketergantungan, dan perhatian yang sukar dialihkan.
Kesulitan belajar
tidak hanya dialami oleh anak-anak berkebutuhan khusus akan tetapi anak normal
pun tidak sedikit yang memiliki kesulitan belajar yaitu pada mata pelajaran
tertentu. Sebagai contohnya yaitu Rahman, 21 tahun (mahasiswa Pendidikan Agama
Islam, Universitas Islam Indonesia). Ia memiliki kesulitan belajar dalam
berhitung. Setiap kali diminta menghitung sesuatu ia pasti langsung menggunakan
kalkulator. Walaupun hal yang dihitung itu bisa dikatakan mudah yaitu contohnya
7 x 4 atau 8 x 3. Ia benar-benar merasa tidak tahu ketika diminta menghitung
sesuatu. Ketika ditanyakan penyebabnya, Rahman mengatakan bahwa dulunya ia
tidak pernah mengikuti pelajaran matematika sewaktu SD dan memang tidak
menyukai matematika. Sehingga hal tersebut berlanjut sampai sekarang.
Makalah ini ditulis oleh Ahmad Muflihin sebagai tugaas pada mata kuliah Pendidikan Anak Luar Biasa, PAI -FIAI-UII