Mengkaji Tetsuko Kuroyanagi dan Kobayashi
(Dalam Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela)
Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela, merupakan cerita kenang-kenangan masa kecil dari Tetsuko Kuroyonagi di suatu sekolah dasar. Totto Chan gadis kecil berumur 7 tahun, sulit diterima di sekolah umum karena hiperaktif. Sejak dikeluarkan dari sekolah lamanya, ia kemudian bersekolah di Tomoe Gakuen, sekolah dengan kelas-kelas gerbong kereta, dan di sanalah ia berjumpa dengan Sassaku Kobayashi. Latar belakang cerita adalah awal Perang Dunia II. Sekolah itu selesai riwayatnya bersamaan dengan peristiwa pemboman Amerika atas Jepang. Buku ini ia persembahkan untuk seorang pendidik, Sassaku Kobayashi, pendiri dan Kepala Sekolah Tomoe Gakuen. Buku tersebut telah menginspirasi banyak pendidik sampai sekarang, hingga menjadi acuan wajib sekolah-sekolah dasar di Jepang.
Makna yang dapat ditafsirkan dari cerita Tetsuko tentang sistem pendidikan yang ia terima di sekolah dasar adalah suatu pembebasan. Tepatnya, pendidikan yang membebaskan. Kobayashi lebih dulu memikirkan dan sudah mempraktikkan suatu sistem pendidikan yang membebaskan itu, ketika Paulo Freire, seorang tokoh terkenal dalam pendidikan yang membebaskan, mungkin masih menggelisahkannya.
Sebelum mendirikan sekolah dasar Tomoe Gakuen, Kobayashi melakukan studi dengan mengunjungi berbagai sekolah di Eropa selama dua tahun. Ia juga belajar euritmik dari Emile Jaques Dalcroze di Paris. Sebelumnya ia telah menamatkan sekolah musiknya di Departemen Pendidikan Musik di Universitas Seni dan Musik di Tokyo. Persahabatannya dengan komposer Dalcroze, melahirkan Asosiasi Euritmik Jepang selain sekolah Tomoe Gakuen yang ia dirikan tahun 1937 itu. Euritmik adalah semacam pendidikan tentang ritme. Ketika anak-anak mendengar ritme musik ini, mereka tidak hanya berhenti pada indra pendengaran, tapi juga belajar mengolahrasakan. Dalcroze menciptakan euritmik setelah melihat bagaimana anak-anak berlarian dan berloncat-loncatan. Irama musik ini khusus untuk olahraga. Bagi Kobayashi:
Euritmik adalah olahraga yang menghaluskan mekanisme tubuh; olahraga yang mengajari otak cara menggunakan dan mengendalikan tubuh; olahraga yang memungkinkan raga dan pikiran memahami irama. Mempraktikkan euritmik membuat kepribadian anak-anak bersifat ritmik; kuat, indah, selaras dengan alam, dan mematuhi hukum-hukumnya.
Kobayashi sangat yakin, euritmik yang diciptakan oleh Dalcroze adalah salah satu cara mengembangkan kepribadian anak-anak secara alamiah, tanpa terlalu dipengaruhi oleh orang dewasa.
Sekolah Tomoe yang didirikan Kobayashi mempunyai lambang dua tanda koma berwarna hitam dan putih yang berpadu membentuk lingkaran sempurna. Lambang itu mempunyai arti keselarasan tubuh dan pikiran, atau keseimbangan tubuh dan pikiran. Menurut Tetsuko:
Kobayashi tidak menerapkan sistem pendidikan yang berlaku umum saat itu. Yaitu sistem pendidikan yang menekankan pada kata-kata tertulis dan cenderung menyempitkan persepsi indrawi anak-anak terhadap alam. Sistem itu juga menghilangkan kepekaan intuitif mereka akan suara Tuhan yang pelan dan menenangkan, yaitu inspirasi.
Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela, merupakan cerita kenang-kenangan masa kecil dari Tetsuko Kuroyonagi di suatu sekolah dasar. Totto Chan gadis kecil berumur 7 tahun, sulit diterima di sekolah umum karena hiperaktif. Sejak dikeluarkan dari sekolah lamanya, ia kemudian bersekolah di Tomoe Gakuen, sekolah dengan kelas-kelas gerbong kereta, dan di sanalah ia berjumpa dengan Sassaku Kobayashi. Latar belakang cerita adalah awal Perang Dunia II. Sekolah itu selesai riwayatnya bersamaan dengan peristiwa pemboman Amerika atas Jepang. Buku ini ia persembahkan untuk seorang pendidik, Sassaku Kobayashi, pendiri dan Kepala Sekolah Tomoe Gakuen. Buku tersebut telah menginspirasi banyak pendidik sampai sekarang, hingga menjadi acuan wajib sekolah-sekolah dasar di Jepang.
Makna yang dapat ditafsirkan dari cerita Tetsuko tentang sistem pendidikan yang ia terima di sekolah dasar adalah suatu pembebasan. Tepatnya, pendidikan yang membebaskan. Kobayashi lebih dulu memikirkan dan sudah mempraktikkan suatu sistem pendidikan yang membebaskan itu, ketika Paulo Freire, seorang tokoh terkenal dalam pendidikan yang membebaskan, mungkin masih menggelisahkannya.
Sebelum mendirikan sekolah dasar Tomoe Gakuen, Kobayashi melakukan studi dengan mengunjungi berbagai sekolah di Eropa selama dua tahun. Ia juga belajar euritmik dari Emile Jaques Dalcroze di Paris. Sebelumnya ia telah menamatkan sekolah musiknya di Departemen Pendidikan Musik di Universitas Seni dan Musik di Tokyo. Persahabatannya dengan komposer Dalcroze, melahirkan Asosiasi Euritmik Jepang selain sekolah Tomoe Gakuen yang ia dirikan tahun 1937 itu. Euritmik adalah semacam pendidikan tentang ritme. Ketika anak-anak mendengar ritme musik ini, mereka tidak hanya berhenti pada indra pendengaran, tapi juga belajar mengolahrasakan. Dalcroze menciptakan euritmik setelah melihat bagaimana anak-anak berlarian dan berloncat-loncatan. Irama musik ini khusus untuk olahraga. Bagi Kobayashi:
Euritmik adalah olahraga yang menghaluskan mekanisme tubuh; olahraga yang mengajari otak cara menggunakan dan mengendalikan tubuh; olahraga yang memungkinkan raga dan pikiran memahami irama. Mempraktikkan euritmik membuat kepribadian anak-anak bersifat ritmik; kuat, indah, selaras dengan alam, dan mematuhi hukum-hukumnya.
Kobayashi sangat yakin, euritmik yang diciptakan oleh Dalcroze adalah salah satu cara mengembangkan kepribadian anak-anak secara alamiah, tanpa terlalu dipengaruhi oleh orang dewasa.
Sekolah Tomoe yang didirikan Kobayashi mempunyai lambang dua tanda koma berwarna hitam dan putih yang berpadu membentuk lingkaran sempurna. Lambang itu mempunyai arti keselarasan tubuh dan pikiran, atau keseimbangan tubuh dan pikiran. Menurut Tetsuko:
Kobayashi tidak menerapkan sistem pendidikan yang berlaku umum saat itu. Yaitu sistem pendidikan yang menekankan pada kata-kata tertulis dan cenderung menyempitkan persepsi indrawi anak-anak terhadap alam. Sistem itu juga menghilangkan kepekaan intuitif mereka akan suara Tuhan yang pelan dan menenangkan, yaitu inspirasi.
Konsep berpikir tentang perkembangan alamiah anak juga sudah diterapkannya ketika ia mendirikan taman kanak-kanak sebelum Tomoe berdiri. Baginya, ia tidak ingin memaksa anak-anak tumbuh sesuai bentuk kepribadian yang sudah digambarkan. Dalam praktiknya di sekolah Tomoe, guru memberikan semua mata pelajaran yang ditulis di papan, dan setiap anak dapat memilih mana dulu yang ingin dikerjakan. Guru tinggal membantu, jika anak-anak mengalami kesulitan.
Kobayashi menekankan kepercayaan pada anak-anak untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, coba kau baca, apa yang kau pikirkan jika seorang anak kecil membuka tutup kakus [pada masa itu wc masih berbentuk kakus], lalu mengeluarkan seluruh kotoran ke permukaan tanah dengan gayung. Ia memang mempunyai alasan, mengambil dompetnya yang terjatuh di dalam bak penampungan kotoran, saat ia ingin tahu dan mengintip ke dalam lubang gelap bak kakus tersebut. Bagiku sulit dibayangkan, ada orang dewasa seperti Kobayashi yang bisa berkata dengan tenang: “Kau akan memasukkan kembali, kalau sudah selesai kan?” Mendapatkan respon seperti itu, Totto Chan pun memasukkan kembali kotoran dalam lubangnya, juga memasukkan tanah yang basah, kemudian meratakan tanah, menutup kembali lubang itu dengan rapi lalu mengembalikan gayung yang dipinjamnya dari gudang tukang kebun.
Kobayashi memahami, pendidikan adalah mengalami. Belajar tidak harus dalam ruangan seperti layaknya sekolah-sekolah lain. Gerbong kereta adalah ide yang sangat imajinatif, dan bersahaja. Sekolah tidak menggunakan seragam, dan bahkan dianjurkan dengan baju yang tidak bagus. Karena sekolah adalah main,dan memang main bagi anak-anak sangat intim dengan kotor dan kerusakan baju, sobek sana-sini.
Kobayahi juga memberikan afeksi dengan kedekatan emosianal pada anak-anak. Ia tidak berjarak. Ia pun memberikan peluang besar bagi anak-anak mengartikulasikan pikiran-pikirannya di depan banyak orang. Dan satu hal, ia mengajari bagaimana menghargai anak-anak perempuan. Ia juga memberi kesempatan bagi anak-anak yang secara umum dikatakan cacat tidak merasa rendah diri. Dalam suatu pelajaran renang, anak-anak dibiarkan telanjang, dengan tidak memaksa, ia menganjurkan itu. Ia menanamkan suatu pelajaran, supaya anak-anak yang mempunyai cacat tubuh sejak usia dini tidak minder dan berusaha menutupi kecacatannya dalam pakaian. Ia ingin anak-anak merasakan penerimaan orang lain terhadap kecacatannya. Kobayashi pun yakin, dalam dunia anak-anak, yang wajar adalah anak-anak yang punya rasa keingintahuan sesuai dengan usianya tentang perbedaan jenis kelamin.
Sistem pendidikan yang dipikirkan dan dipraktikkan Kobayashi menurutku merupakan suatu perlawanan terhadap sistem pendidikan yang tengah ada. Waktu itu sistem pemerintahan di Jepang menganut fasisme. Ambisi Jepang untuk menjadi Negara terkuat di Asia, menyeretnya bersekutu dengan Musolini dan Hitler. Model pendidikan Kobayashi, meskipun kecil dan sangat marjinal tapi bertentangan dengan sistem pendidikan yang telah ada. Meskipun demikian pemerintahan Jepang secara resmi tetap mengizinkan praktik pendidikan model Kobayashi. Bahkan di lingkungan Departemen Pendidikan Jepang, Kobayashi mendapat tempat dan sangat dihormati.
Menurut Tetsuko, diterimanya model pendidikan yang tidak konvensional itu, karena Kobayashi tidak mempublikasikan sistem pendidikannya, sehingga tidak mengundang perhatian banyak masyarakat. Setelah pemerintah Jepang yakin, bahwa model pendidikan Kobayashi, di tataran anak-anak itu tidak membawa akibat secara langsung bagi kestabilan politik Jepang.
Bagaimanapun pendidikan adalah aparat yang paling penting dalam menanamkan ideologi menurut Althusserl. Apalagi dengan model pendidikan yang menyenangkan baik yang dirasakan keluarga dan anak-anaknya, yang ditawarkan Kobayashi: mengajarkan empati pada orang lain, rasa tanggung jawab, jiwa altruis, menghargai sesama, tidak rasialis [diajarkan oleh ibu Totto Chan pada putrinya, saat menghadapi diskriminasi orang korea di komplek rumahnya], mengajarkan open mind [saat kedatangan anak Jepang pindahan dari sekolah di Amerika, Kobayashi mengajarkan menerima dan memberi, sikap berbagi, meskipun suasana saat itu Jepang sedang memusuhi yang berbau Amerika]. Namun menurut Althusser, kebaikan guru yang langka ini tanpa disadari telah dimanfaatkan oleh sistem kapitalisme yang kelak tertancap kuat di Jepang setelah kekalahannya pada PD II, dan era restorasi. Hasil-hasil pendidikan Kobayashi toh pada akhirnya bermuara pada produksi; baik buruh maupun intelektual buruh kolektif, agen-agen eksploitasi, dan agen-agen represi.
Alangkah skeptisnya Althusserl dalam hal ini. Andai pendidikan yang membebaskan pun pada akhirnya terikat suatu ketidakmerdekaan, alangkah sia-sianya orang memikirkan itu, baik Kobayashi maupun beberapa tahun sesudahnya, seperti halnya Paulo Freire di Brazil.
Tetsuko sekarang sudah berusia kurang lebih 74 tahun. Tahun 1996, dia masih menjadi pemandu acara Talk Show di salah satu stasiun televisi Jepang, dan menjadi duta Unicef [berdasarkan surat balasannya pada The National Book Trust di India yang mengundangnya untuk datang ke India]. Bukunya memang membuat sejarah dalam dunia penerbitan Jepang waktu itu pada era 1980-an, yaitu terjual 4.500.000 kopi dalam setahun setelah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Buku ini tidak hanya semata-mata menguntungkan secara ekonomi. Tapi aku melihat dampak yang luas, model pendidikan Kobayashi ini dibaca oleh orang-orang seantero dunia. Meskipun sistem pendidikan di Jepang, masih juga sama dengan di Indonesia dengan memberikan beban begitu besar pada anak-anak dengan tugas, tapi buku ini telah sampai ke sekolah-sekolah Jepang. Di Jepang, buku ini juga dibaca oleh anak-anak berumur tujuh tahun, meskipun menurut Tetsuko, masih menggunakan kamus untuk kata-kata yang sukar.
Aku juga berpikir sama dengan Tetsuko, memimpikan suatu model pendidikan yang membebaskan. Tidak rasis, tidak seksis, tidak membunuh potensi alamiah pada diri manusia. Totto Chan yang hiperaktif, yang pernah dikeluarkan dari sekolah konvensional, dengan model pendidikan Kobayashi, ia telah menjadi sosok yang dapat mengembangkan kemanusiaannya. Kepercayaan yang ditanamkan Kobayashi seperti; “Kau itu anak yang benar-benar baik, kau tahu itu kan?,” terinternalisasi dalam dirinya sehingga menjadi semacam mantra bagi diri sendiri untuk mewujudkannya.
Untuk Akira Takahashi, seorang anak yang punya cacat tubuh yang tidak bisa berkembang normal, ketika di Tomoe, Kobayashi selalu merancang olahraga yang pasti dapat dimenangkan Takahashi dan membuatnya mempunyai kebanggaan pada dirinya. Setelah dewasa Takahashi bekerja sebagai manajer Personalia di perusahaan elektronik. Tapi tidak berhenti pada skeptisisme Althusser, ketika menjadi manajer Personalia, ia mampu mendengar keluhan-keluhan orang lain, dia bertanggung jawab atas hubungan harmonis di antara sesama pekerja .Ia sendiri tumbuh menjadi pribadi periang dan tidak bermasalah dengan cacat tubuhnya.
Bagi Kunio Oe, anak laki-laki yang waktu kecil pernah dinasehati Kobayashi untuk menghargai perempuan, setelah menarik kepang Totto Chan, setelah dewasa menjadi ahli anggrek spesies Timur Jauh, ia sangat disegani di seluruh Jepang. Tapi yang menarik adalah, setelah sekolah dasar Tomoe terbakar, ia tidak melanjutkan sekolah ke manapun. Ia menekuni bidang yang digeluti orang tuanya sebagai petani anggrek. Keuletannya adalah jawaban bagi Althusserl, bahwa jerih payah pemikiran dan kerja keras Kobayashi selama menanamkan pendidikan yang membebaskan, tidak bisa dipandang dengan belas kasihan, terjebak pada suatu sistem. Keuletan, kedaulatan pada pilihan hidupnya sendiri, dan empati yang mendalam pada lingkungannya, adalah kemerdekaan yang tak terbahas dalam ideologi Althusser.
By Dina A.S.
Kukusan, 26 April 2007