Sudahkah Shalat Kita Sempurna?
“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.”(QS al-Baqarah [2]: 45)
Ketika adzan mulai berkumandang, tidak sedikit dari umat Islam yang langsung bergegas pergi ke masjid untuk menunaikan shalat. Shalat yang merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam, shalat yang dalam agama Islam menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah lainnya. Shalat merupakan tiang agama, di mana seorang muslim tidak dapat berdiri kokoh melainkan dengannya.
Akan tetapi, apakah shalat yang selama ini kita lakukan benar-benar merupakan ibadah yang dilakukan secara khusyuk semata-mata karena mengharap ridha Allah? Ataukah hanya sekedar ritual harian belaka yang dalam mengerjakannya kita masih memikirkan hal-hal yang berbau duniawi yang pada akhirnya hanyalah menjadikan shalat sebagai kebiasaan rutinitas saja. Padahal esensi diwajibkannya shalat adalah untuk mengingat Allah dan menjaga diri dari kemungkaran. Sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS Thaahaa [20]: 110) dan “… Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar …” (QS al-Ankabuut [29]: 45).
Kedua hal tersebut hanyalah bisa didapatkan jika seseorang mampu memahami sekaligus merasakan makna spiritual shalat, biasanya pengetahuan fitrah dalam jiwa dan hatinya akan tersingkap (al-kasyf), sehingga memunculkan gerak kesadaran diri antara hamba dengan Sang Pencipta. Penyingkapan ini akan memungkinkan setiap hamba merasakan satu kenikmatan dalam kesadaran dirinya. Artinya, ia akan menemukan konsep spritual yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang bisa menyucikan dirinya dari segala kotoran dosa dalam hatinya. Shalat dengan khusyuk tidaklah sulit untuk dikerjakan, akan tetapi yang sulit adalah menguatkan niat dalam hati kita untuk melaksanakan shalat dengan khusyuk.
Kedua hal tersebut hanyalah bisa didapatkan jika seseorang mampu memahami sekaligus merasakan makna spiritual shalat, biasanya pengetahuan fitrah dalam jiwa dan hatinya akan tersingkap (al-kasyf), sehingga memunculkan gerak kesadaran diri antara hamba dengan Sang Pencipta. Penyingkapan ini akan memungkinkan setiap hamba merasakan satu kenikmatan dalam kesadaran dirinya. Artinya, ia akan menemukan konsep spritual yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang bisa menyucikan dirinya dari segala kotoran dosa dalam hatinya. Shalat dengan khusyuk tidaklah sulit untuk dikerjakan, akan tetapi yang sulit adalah menguatkan niat dalam hati kita untuk melaksanakan shalat dengan khusyuk.
Bagaimanakah Caranya Menikmati Shalat?
Ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa untuk merasakan kenikmatan dalam shalat (apapun shalatnya) bisa dicapai dengan cara menangis.Kita bisa merasakan satu kenikmatan dalam shalat apabila dalam shalat kita mampu menangis sesenggukan, sehingga hati bergetar hebat merasakan luapan tangis.
Namun demikian, apakah menangis bisa menjadi ukuran setiap orang untuk dapat merasakan dan menikmati shalat? Tentu, jawabannya berpulang pada masing-masing pribadi. Dengan menangis, terkadang hati seseorang bisa bergetar mengingat segala dosa-dosa yang pernah diperbuat. Akan tetapi, shalat dengan menangis juga bukanlah sebuah jaminan bahwa shalatnya dikerjakan dengan khusyuk.
Tak jarang, ada orang yang bisa menangis sesenggukan dalam shalat, tetapi tangisnya tidak membekas dalam hatinya. Sunggguh, bila demikian nilai tangisnya hanya rekayasa spiritual (spiritual engineering) yang tidak mempunyai energi untuk dapat merombak perilakunya. Untuk menyelami kenikmatan dalam shalat, yang terpenting bukan bagaimana cara kita bisa menangis sesenggukan, melainkan bagaimana caranya agar dengan shalat kita bisa merombak semua perilaku kita sehingga kehidupan kita jauh dari sifat-sifat yang tidak terpuji.
Lantas adakah cara-cara agar shalat kita dapat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari? Pertama, kita harus dapat menikmati shalat. Jika seseorang belum dapat menikmati shalat, maka dapat dimungkinkan shalat yang dia lakukan belum masuk dalam tingkatan sempurna atau lebih tegasnya, shalatnya masih berupa gerakan-gerakan tubuh yang tidak mempunyai makna spiritual. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Pada hari kiamat kelak, ada seseorang yang membawa shalatnya kepada Allah Swt. Kemudian dia mempersembahkan shalatnya kepada-Nya. Tiba-tiba, shalatnya dilipat-lipat seperti dilipatnya pakaian yang kumal, kemudian dibanting ke wajahnya. Allah tidak menerima shalatnya.”
Hal tersebut dikarenakan dia melaksanakan shalat bukan karena Allah melainkan karena kehendak lain. Bahkan, ada orang yang celaka karena shalatnya. “Maka, celaka bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya.” (QS. Al-Maa’uun [107]: 4-6).
Tanda-tanda Shalat Mendekati Sempurna
Untuk mendasari beberapa tanda shalat diterima atau tidak, mari kita lihat firman Allah dalam hadits Qudsi berikut ini: “Sesungguhnya Aku hanya mau menerima shalat orang-orang yang merendahkan dirinya karena kebesaran-Ku, menahan dirinya dari hawa nafsu karena Aku, mengisi waktu sebagian siangnya untuk berdzikir kepada-Ku, melazimkan hatinya untuk takut kepada-Ku, tidak sombong terhadap makhluk-Ku, memberi makan kepada orang yang lapar, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, menyayangi orang yang terkena musibah, serta memberikan perlindungan kepada orang yang terasing” (Kalimatullah al-Ulya, hlm. 264).
Melalui hadits Qudsi ini, dapat disimpulkan bahwa tanda-tanda shalat yang bisa dikatakan sempurna akan membawa pengaruh besar pada kepribadian, seperti merendahkan diri di hadapan Allah, mampu menahan nafsu, banyak berdzikir, dan solidaritas sosial. Dari keempat tanda ini, apabila mushalli dapat meresapi sekaligus mewujudkannya dalam kehidupannya sehari-hari, maka secara total sholatnya dapat diterima tanpa cela, dan mushalli dapat larut dengan satu kenikmatan yang sempurna.
Tanda yang pertama adalah merendahkan diri di hadapan Allah. Jika mushalli dapat merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Allah, maka dia bisa larut dan tenggelam dalam kenikmatan shalat sebagaimana dirinya telah melesat jauh seakan tengah meninggalkan planet bumi.
Tanda yang kedua adalah sanggup menahan hawa nafsu. Orang yang sanggup menahan hawa nafsunya, kelak di hari kiamat kata Rasulullah akan dimuliakan oleh Allah dan dilindungi sebagai orang-orang yang penting dan orang-orang yang akan mendapatkan .rahmat.
Tanda yang ketiga adalah memperbanyak dzikir kepada Allah. Orang yang selalu mengisi waktu siang dan malamnya untuk berdzikir kepada Allah termasuk orang yang mampu menikmati shalatnya Karena dia akan selalu mengingat Allah kapanpun dan dimanapun dia berada.
Terakhir, tanda yang keempat adalah solidaritas sosial. Solidaritas adalah sikap atau perasaan yang senantiasa ingin menolong tatkala melihat penderitaan orang lain. Yaitu ketika kita sanggup merasakan pedih dan menangis saat melihat penderitaan orang lain dan berusaha sebisa mungkin untuk membantunya.
Penutup
Untuk lebih mengingatkan kita akan pentingnya shalat maka tidak ada salahnya apabila kita renungkan baik-baik hadits Rasullullah SAW berikut sebagai motivasi dalam menjalankan ibadah shalat.
“Awal amal yang dihisab dari seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalat. Jika ia baik, baiklah seluruh amalnya. Sebaliknya jika jelek, jeleklah pula semua amalnya.” (HR Thabrani).Wallahu alam bishowab
Ahmad Muflihin
Mahasiswa S1 Pend. Agama Islam – FIAI UII dan Santri Pondok Pesantren UII
Ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa untuk merasakan kenikmatan dalam shalat (apapun shalatnya) bisa dicapai dengan cara menangis.Kita bisa merasakan satu kenikmatan dalam shalat apabila dalam shalat kita mampu menangis sesenggukan, sehingga hati bergetar hebat merasakan luapan tangis.
Namun demikian, apakah menangis bisa menjadi ukuran setiap orang untuk dapat merasakan dan menikmati shalat? Tentu, jawabannya berpulang pada masing-masing pribadi. Dengan menangis, terkadang hati seseorang bisa bergetar mengingat segala dosa-dosa yang pernah diperbuat. Akan tetapi, shalat dengan menangis juga bukanlah sebuah jaminan bahwa shalatnya dikerjakan dengan khusyuk.
Tak jarang, ada orang yang bisa menangis sesenggukan dalam shalat, tetapi tangisnya tidak membekas dalam hatinya. Sunggguh, bila demikian nilai tangisnya hanya rekayasa spiritual (spiritual engineering) yang tidak mempunyai energi untuk dapat merombak perilakunya. Untuk menyelami kenikmatan dalam shalat, yang terpenting bukan bagaimana cara kita bisa menangis sesenggukan, melainkan bagaimana caranya agar dengan shalat kita bisa merombak semua perilaku kita sehingga kehidupan kita jauh dari sifat-sifat yang tidak terpuji.
Lantas adakah cara-cara agar shalat kita dapat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari? Pertama, kita harus dapat menikmati shalat. Jika seseorang belum dapat menikmati shalat, maka dapat dimungkinkan shalat yang dia lakukan belum masuk dalam tingkatan sempurna atau lebih tegasnya, shalatnya masih berupa gerakan-gerakan tubuh yang tidak mempunyai makna spiritual. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Pada hari kiamat kelak, ada seseorang yang membawa shalatnya kepada Allah Swt. Kemudian dia mempersembahkan shalatnya kepada-Nya. Tiba-tiba, shalatnya dilipat-lipat seperti dilipatnya pakaian yang kumal, kemudian dibanting ke wajahnya. Allah tidak menerima shalatnya.”
Hal tersebut dikarenakan dia melaksanakan shalat bukan karena Allah melainkan karena kehendak lain. Bahkan, ada orang yang celaka karena shalatnya. “Maka, celaka bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya.” (QS. Al-Maa’uun [107]: 4-6).
Tanda-tanda Shalat Mendekati Sempurna
Untuk mendasari beberapa tanda shalat diterima atau tidak, mari kita lihat firman Allah dalam hadits Qudsi berikut ini: “Sesungguhnya Aku hanya mau menerima shalat orang-orang yang merendahkan dirinya karena kebesaran-Ku, menahan dirinya dari hawa nafsu karena Aku, mengisi waktu sebagian siangnya untuk berdzikir kepada-Ku, melazimkan hatinya untuk takut kepada-Ku, tidak sombong terhadap makhluk-Ku, memberi makan kepada orang yang lapar, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, menyayangi orang yang terkena musibah, serta memberikan perlindungan kepada orang yang terasing” (Kalimatullah al-Ulya, hlm. 264).
Melalui hadits Qudsi ini, dapat disimpulkan bahwa tanda-tanda shalat yang bisa dikatakan sempurna akan membawa pengaruh besar pada kepribadian, seperti merendahkan diri di hadapan Allah, mampu menahan nafsu, banyak berdzikir, dan solidaritas sosial. Dari keempat tanda ini, apabila mushalli dapat meresapi sekaligus mewujudkannya dalam kehidupannya sehari-hari, maka secara total sholatnya dapat diterima tanpa cela, dan mushalli dapat larut dengan satu kenikmatan yang sempurna.
Tanda yang pertama adalah merendahkan diri di hadapan Allah. Jika mushalli dapat merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Allah, maka dia bisa larut dan tenggelam dalam kenikmatan shalat sebagaimana dirinya telah melesat jauh seakan tengah meninggalkan planet bumi.
Tanda yang kedua adalah sanggup menahan hawa nafsu. Orang yang sanggup menahan hawa nafsunya, kelak di hari kiamat kata Rasulullah akan dimuliakan oleh Allah dan dilindungi sebagai orang-orang yang penting dan orang-orang yang akan mendapatkan .rahmat.
Tanda yang ketiga adalah memperbanyak dzikir kepada Allah. Orang yang selalu mengisi waktu siang dan malamnya untuk berdzikir kepada Allah termasuk orang yang mampu menikmati shalatnya Karena dia akan selalu mengingat Allah kapanpun dan dimanapun dia berada.
Terakhir, tanda yang keempat adalah solidaritas sosial. Solidaritas adalah sikap atau perasaan yang senantiasa ingin menolong tatkala melihat penderitaan orang lain. Yaitu ketika kita sanggup merasakan pedih dan menangis saat melihat penderitaan orang lain dan berusaha sebisa mungkin untuk membantunya.
Penutup
Untuk lebih mengingatkan kita akan pentingnya shalat maka tidak ada salahnya apabila kita renungkan baik-baik hadits Rasullullah SAW berikut sebagai motivasi dalam menjalankan ibadah shalat.
“Awal amal yang dihisab dari seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalat. Jika ia baik, baiklah seluruh amalnya. Sebaliknya jika jelek, jeleklah pula semua amalnya.” (HR Thabrani).Wallahu alam bishowab
Ahmad Muflihin
Mahasiswa S1 Pend. Agama Islam – FIAI UII dan Santri Pondok Pesantren UII