Guru dan Murid

Jumat, April 15, 2016 Unknown 0 Comments

“yang abadi itu murid, sedangkan guru tidak abadi. Karena setiap guru itu pasti murid, tapi tidak setiap murid jadi guru. Belajar itu wajib, mengajar itu sunah. Bahkan, guru yang tidak mengajar apapun sebenarnya sedang mengajar. Tidak ada guru yang tidak mengajar, yang ada adalah murid yang tidak belajar. Guru boleh memberi sedikit, tapi murid harus mengambil banyak dari gurunya. Asalkan kita bisa memahami bahwa setiap guru adalah murid, maka guru tidak akan pernah berhenti belajar. Dan guru mulai mengajar dengan belajar tentang muridnya. Tanpa belajar tentang muridnya, maka dia hanya akan mentransfer ilmu saja tanpa mengerti apapun yang benar-benar dibutuhkan oleh muridnya dan tidak tahu titik berangkat  masing-masing muridnya”

Disadur dari jawaban Gus Candra sewaktu beliau menjadi moderator pada Kuliah Perdana di Fakultas Kehutanan UGM

Belajarlah!

Jumat, April 15, 2016 Unknown 0 Comments

Beberapa hari yang lalu, saya berbincang kepada seorang teman pasca. Topik yang dibahas pun masih sekitar dunia kampus. Maklum, karena saat ini kami berdua memang belum lulus dan masih bergelut dengan tesis. Arah perbincangan pun tanpa disadari semakin melebar. Dari mulanya seputar tesis, kemudian sampai kepada rencana melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi atau S3. Ya, S3 dan itu di luar negeri.
Teman saya ini, pada saat itu menjadi bersemangat untuk berbincang dalam hal ini, dikarenakan ia baru saja bertemu dengan dosen muda UIN yang dulunya melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Terlebih mereka (sosok yang teman saya ceritakan) adalah perempuan. Ia kemudian membayangkan betapa hebatnya mereka ini. Mereka memiliki semangat mencari ilmu sampai harus ke luar negeri segala (dan “tidak” terburu-buru untuk segera menikah). J
Kemudian, kita pun saling sharing mengenai rencana kita masing-masing selepas lulus dari program master ini. Saya, memang sudah memiliki rencana untuk melanjutkan studi lagi. Tapi bukan S3. Melainkan S2. ketika mendengar rencana saya, teman saya ini lantas bertanya, “Apa nggak sayang umurnya mas kalo ambil S2 lagi?”. Pertanyaan yang biasa memang, mengingat saya sudah mengambil program S2, eh tapi malah mau kuliah S2 lagi. Tapi, entah kenapa saya malah jadi berpikir, “kok orang mau menuntut ilmu tapi dibilang sayang umurnya??”
Entah saya yang “lebay” atau memang paradigma berpikir kita yang salah. Bahwa “umur” memiliki andil yang besar dalam kesuksesan karir kita. Dalam kasus saya di atas tadi, mungkin akan lebih “sukses” kalau saya langsung melanjutkan S3 saja. Sehingga umur yang saya miliki tidak terbuang sia-sia dibandingkan kuliah S2 lagi. Tapi apakah benar demikian?
Dalam sebuah hadits tentang pendidikan yang sudah masyhur dan akrab di telinga kita, Nabi Muhammad saw pernah bersabda, yang kurang lebih artinya, “tuntutlah ilmu dari saat kamu masih berada di ayunan sampai kamu masuk ke dalam liang kubur”, utlubul ilma minal lahdi ilal lahdi. Hadits ini sering dipakai sebagai salah satu landasan tentang pentingnya menuntut ilmu. Sampai pada kalangan pendidik muslim, muncul terma long life educationatau pendidikan sepanjang hayat.
Maksud sederhana dari terma tersebut adalah, selagi kita masih hidup, maka tidak ada alasan untuk berhenti belajar. Belajarlah tanpa dibatasi usiamu. Belajarlah apabila engkau masih memiliki nafas yang kau hembuskan. Belajarlah selagi hayat masih dikandung badan. Belajarlah..
Maksud dari belajar di sini, tentu belajar yakni mempelajari segala hal yang baru, baik itu melalui jenjang formal, informal, maupun non-formal. Intinya satu, yakni “belajar”.

Dengan kesadaran demikian, maka ketika pertanyaan di atas diajukan kembali, “Apa nggak sayang (rugi, red) umurnya mas kalo ambil S2 lagi?” maka jawabannya, “tidak ada kata sayang (rugi) untuk terus belajar. Jangankan S2 lagi, S1 pun kalau memang saya harus mempelajari hal yang baru yang tidak saya dapatkan di S2 maupun S3, kenapa tidak?” J

Kamar kos condrodimuko, 14 April 2016.   

When someone else’s happiness is your happiness, that’s love

Kamis, Februari 04, 2016 Unknown 0 Comments

Tadi malam, ketika saya membuka twitter dan kemudian saya melihat kutipan tersebut, ntah kenapa, saya langsung teringat kepada hadits Nabi SAW yang mengatakan, “Khairunnas an’fauhum linnaas”, yang kurang lebih artinya: “sebaik-baik manusia ialah ia yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain”.

Hadits yang sudah sangat masyhur memang, bahkan kepada orang awan sekalipun. Akan tetapi, (mungkin) dikarenakan kemasyuharannya-lah yang justru menjadikan hadits tersebut jarang direnungi secara lebih mendalam. Yaah.. hanya sebatas “tahu” bahwa menjadi orang yang dapat memberi manfaat kpd orang lain adalah hal yang baik, sudah, itu saja, titik.

Padahal, kalau direnungi dan dipahami lebih lanjut, hadits tersebut mengajarkan kepada kita bahwa kalau kita ingin menjadi manusia yang sesungguhnya, manusia yang benar-benar manusia, maka mau tidak mau kita harus bisa/mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Tidak ada lagi kata “aku” dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, semuanya sudah kita serahkan demi kebermanfaatan kita terhadap orang lain.

Fatimah Az-Zahra, putri kesayangan Rasulullah telah memberikan contoh yang sangat memukau berkenaan dengan hal ini. Imam Shadiq meriwayatkan dari kakek-kakeknya bahwa Imam Hasan bin Ali berkata, “Di setiap malam Jumat, ibuku beribadah hingga fajar menyingsing. Ketika ia mengangkat tangannya untuk berdoa, ia selalu berdoa untuk kepentingan orang lain dan ia tidak pernah berdoa untuk dirinya sendiri. Suatu hari aku bertanya kepadanya, ‘Ibu, mengapa kau tidak pernah berdoa untuk diri Anda sendiri sebagaimana kau mendoakan orang lain?’ ‘Tetangga harus didahulukan, wahai putraku,’ jawabnya singkat.”

Sayyidatuna Fatimah, tentu sangat tahu, bahwa ketika ia mendoakan kebaikan untuk orang lain, maka secara “otomatis” para malaikat akan mendoakannya sebagaimana doa yang ia panjatkan untuk orang lain tersebut.

Kembali kepada kutipan yang saya cantumkan di awal tulisan ini, dan kemudian saya cari titik temu dengan hadits Rasulullah SAW yang sudah satu setengah abad lebih itu, saya semakin tersadar bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kasih sayang, atau dalam bahasa kita saat ini, cinta.

Ya, Islam adalah agama cinta. Cinta yang tidak hanya kepada sesama manusia saja melainkan kepada hewan, tumbuhan, dan segala yang ada di muka bumi ini, cinta kepada seluruh alam.


Ketika dalam kutipan tersebut dikatakan bahwa cinta, adalah saat kebahagiaan orang lain menjadi kebahagiaan kita, maka tidak ada lagi kata yang lebih agung yang dapat mendeskripsikan apa itu cinta. Sebab, tidak semua orang akan merasa bahagia apabila melihat kebahagiaan orang lain. Yang sering muncul justru rasa iri hati, dengki, dan semacamnya. Ketika kemudian kita dapat merasa bahagia dikarenakan kebahagiaan yang sebenarnya “milik orang lain”, maka secara tidak langsung kita telah menjadikan orang lain itu menjadi bagian dari diri kita. Dan ketika sudah menjadi bagian dari diri kita, bukankah itu adalah titik kesempurnaan dari cinta? Allahu a’lam..