Hey, lihat! Dia sedang melakukan pencitraan!!

Sabtu, Juli 05, 2014 Unknown 0 Comments


Saat ini, di tengah hiruk pikuk nuansa politik dalam rangka menyambut pilpres 5 Juli nanti, muncul berbagai isu miring tentang calon presiden. Entah itu persoalan HAM, kasus karatan bus trans Jakarta, dan lain sebagainya. Akan tetapi, satu hal yang menarik perhatian saya adalah isu tentang pencitraan. Sebenarnya isu ini tidak hanya terjadi menjelang pilpres saja, melainkan pada hari biasa pun kerap terdengar. Masih ingat, ketika Dahlan Iskan pergi bekerja menggunakan kereta ekonomi? Dan ketika ia melempar kursi penjagaan jalan tol? Saat itu, tidak sedikit yang menganggapnya bahwa ia hanya melakukan pencitraan belaka. Sebenarnya yang dinamakan pencitraan itu seperti apa?
Pencitraan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gambaran diri yang ingin diciptakan oleh seseorang, dan itu dalam skala yang sangat luas. Kegiatan apapun itu, asal dilakukan dengan niatan agar orang lain dapat menganggapnya sebagai cerminan dari sifat, maka kegiatan pencitraannya bisa dikatakan berhasil. Ketika ada seseorang yang kesehariannya berbicara dengan serius, maka ia ingin agar orang lain menganggapnya sebagai orang yang serius. Itu adalah pengertian singkat mengenai pencitraan.
Kemudian, bagaimana Islam memandang pencitraan ini? Dalam Islam, pencitraan lebih familiar dengan istilah “riya”. Kurang lebih maknanya sama, yakni melakukan suatu perbuatan yang dianggap baik agar dirinya dinilai baik. Ia melakukan perbuatan tersebut “hanya” untuk mendapat pengakuan dari orang lain, bukan untuk Allah. Perbuatan ini, sudah terjadi sejak dahulu, hampir 15 abad bahkan lebih. Sampai-sampai Rasul SAW bersabda, yang kurang lebih artinya: “hal paling aku khawatirkan terjadi atas umatku adalah Syirik kepada Allah, aku tidak mengatakan engkau akan menyembah patung, bulan atau matahari. Akan tetapi perbuatan yang dilakukan bukan karena Allah dan syahwat yang tersembunyi”. Peringatan yang diberikan oleh Rasul SAW tersebut, tentu menyiratkan betapa bahayanya riya atau pencitraan itu. Sehingga ia tergolong kepada syirik kecil.   
Setelah kita memahami betapa bahaya dan dosa bagi orang yang melakukan riya atau pencitraan tersebut, kemudian muncul pertanyaan, apakah setiap hal yang dilakukan secara terang-terangan langsung mendapat justifikasi bahwa itu adalah riya? Dan siapakah yang berhak untuk men-judge apakah suatu perbuatan itu tergolong riya atau tidak?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, saya akan mengisahkah dua kisah sahabat Rasul SAW, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Menurut beberapa riwayat, bahwa ketika Abu Bakar akan membayar zakat ataupun sedekah, maka ia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan, Umar bin Khattab ketika melakukan hal seperti di atas, ia melakukannya dengan terang-terangan. Kemudian peristiwa ini diadukan kepada Rasul SAW, untuk bertanya, manakah yang benar di antara keduanya.
Rasul SAW kemudian menjawab bahwa kedua-duanya benar. Abu Bakar Ash-Shiddiq melakukannya dengan sembunyi-sembunyi karena ia (yang dikenal sangat tawadhu’) khawatir bahwa apabila perbuatannya diketahui oleh orang lain, maka akan berubahlah niatnya yakni ingin mendapat pujian dari orang lain. Sedangkan Umar bin Khattab, ia melakukan hal tersebut secara terang-terangan agar dapat menjadi contoh bagi orang lain. Ia (yang dikenal teguh pendiriannya) berharap dengan dilakukannya perbuatan tersebut secara terang-terangan, justru akan memotivasi orang lain agar melakukan perbuatan serupa.
Dari kisah di atas, telah jelas bahwa ternyata bukan persoalan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, melainkan bagaimana hati ini memandang perbuatan yang dilakukan. Karena, bukan tidak mungkin orang yang melakukan secara sembunyi-sembunyi juga akan dihinggapi perasaan “ujub”, yakni ia merasa bahwa perbuatannya lebih baik dari orang lain. Jadi, telah jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan tidak bisa dianggap sebagai pencitraan atau riya belaka.
Untuk pertanyaan kedua, apabila kita sudah memahami jawaban dari pertanyaan pertama di atas tadi, maka sebenarnya kita sudah memiliki gambaran atas pertanyaan kedua. Apabila sudah dipahami bahwa perbuatan terang-terangan belum tentu tergolong riya, dan perbuatan sembunyi-sembunyi juga belum tentu lebih baik dari yang terang-terangan, maka telah jelaslah bahwa yang mengetahui “nia sebenarnyat” dari perbuatan-perbuatan tersebut adalah dirinya sendiri dan Tuhan. Ya. Karena hanya dirinya dan Tuhanlah yang mengetahui secara hakikat maksud dari perbuatan yang dilakukan. Orang lain boleh saja menganggap bahwa kita melakukan pencitraan, tapi kalau ternyata orang yang dimaksud justru melakukan dengan ikhlas dalam hatinya, bukankah orang yang menganggap orang lain melakukan pencitraan justru melakukan KEDENGKIAN terhadap orang yang dimaksud.
Sungguh, saya merasa miris melihat fenomena yang terjadi dalam pemilihan presiden ini. Banyak pendukung fanatis yang terkuras energinya, justru untuk menjelek-jelekkan pihak lawan dari calon presiden yang didukungnya. Bukankah dengan menjelek-jelekkan pihak lawan, yang terjadi justru adannya balasan serupa dari pihak lawan? Mengapa kita tidak menaruh fokus kita terhadap kebaikan apa yang akan dilakukan oleh calon presiden yang kita dukung? Bukankah itu lebih baik bagi kita semua, terlebih bagi bangsa ini? Atau, karena saking cintanya kita sudah menjadi gelap mata dan tak nampak lagi kebaikan yang ada pada diri lawan? Entahlah, tapi yang jelas, sikap yang kita munculkan suasana pemilihan presiden ini, merupakan gambawan dari diri kita yang sebenarnya. Apakah kita memang lebih suka melihat kekurangan orang lain dari pada kelebihannya, suka menjelek-jelekkan orang lain daripada kejelekan diri sendiri, suka mengumpat atau berkata kasar, itu semua dapat kita lihat dari perilaku kita masing-masing dalam menyikapi fenomena ini.
Melalui tulisan singkat ini, saya hanya ingin mengajak, janganlah kita terlalu mudah menilai perbuatan orang lain. Karena belum tentu apa yang kita nilai itu adalah hal yang benar. Kita (terlebih yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad SAW), hendaknya lebih mengedepankan prasangka baik terhadap orang lain. Bukankah Panutan kita selalu mengajarkan hal demikian, bahkan ketika sedang berhadapan dengan musuh Islam sekalipun. Semoga, kita dapat meniru pribadi beliau dan mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak. Amin.

Hey, lihat! Dia sedang melakukan pencitraan!!

Jumat, Juli 04, 2014 Unknown 0 Comments

Saat ini, di tengah hiruk pikuk nuansa politik dalam rangka menyambut pilpres 5 Juli nanti, muncul berbagai isu miring tentang calon presiden. Entah itu persoalan HAM, kasus karatan bus trans Jakarta, dan lain sebagainya. Akan tetapi, satu hal yang menarik perhatian saya adalah isu tentang pencitraan. Sebenarnya isu ini tidak hanya terjadi menjelang pilpres saja, melainkan pada hari biasa pun kerap terdengar. Masih ingat, ketika Dahlan Iskan pergi bekerja menggunakan kereta ekonomi? Dan ketika ia melempar kursi penjagaan jalan tol? Saat itu, tidak sedikit yang menganggapnya bahwa ia hanya melakukan pencitraan belaka. Sebenarnya yang dinamakan pencitraan itu seperti apa?
Pencitraan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gambaran diri yang ingin diciptakan oleh seseorang, dan itu dalam skala yang sangat luas. Kegiatan apapun itu, asal dilakukan dengan niatan agar orang lain dapat menganggapnya sebagai cerminan dari sifat, maka kegiatan pencitraannya bisa dikatakan berhasil. Ketika ada seseorang yang kesehariannya berbicara dengan serius, maka ia ingin agar orang lain menganggapnya sebagai orang yang serius. Itu adalah pengertian singkat mengenai pencitraan.
Kemudian, bagaimana Islam memandang pencitraan ini? Dalam Islam, pencitraan lebih familiar dengan istilah “riya”. Kurang lebih maknanya sama, yakni melakukan suatu perbuatan yang dianggap baik agar dirinya dinilai baik. Ia melakukan perbuatan tersebut “hanya” untuk mendapat pengakuan dari orang lain, bukan untuk Allah. Perbuatan ini, sudah terjadi sejak dahulu, hampir 15 abad bahkan lebih. Sampai-sampai Rasul SAW bersabda, yang kurang lebih artinya: “hal paling aku khawatirkan terjadi atas umatku adalah Syirik kepada Allah, aku tidak mengatakan engkau akan menyembah patung, bulan atau matahari. Akan tetapi perbuatan yang dilakukan bukan karena Allah dan syahwat yang tersembunyi”. Peringatan yang diberikan oleh Rasul SAW tersebut, tentu menyiratkan betapa bahayanya riya atau pencitraan itu. Sehingga ia tergolong kepada syirik kecil.   
Setelah kita memahami betapa bahaya dan dosa bagi orang yang melakukan riya atau pencitraan tersebut, kemudian muncul pertanyaan, apakah setiap hal yang dilakukan secara terang-terangan langsung mendapat justifikasi bahwa itu adalah riya? Dan siapakah yang berhak untuk men-judge apakah suatu perbuatan itu tergolong riya atau tidak?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, saya akan mengisahkah dua kisah sahabat Rasul SAW, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Menurut beberapa riwayat, bahwa ketika Abu Bakar akan membayar zakat ataupun sedekah, maka ia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan, Umar bin Khattab ketika melakukan hal seperti di atas, ia melakukannya dengan terang-terangan. Kemudian peristiwa ini diadukan kepada Rasul SAW, untuk bertanya, manakah yang benar di antara keduanya.
Rasul SAW kemudian menjawab bahwa kedua-duanya benar. Abu Bakar Ash-Shiddiq melakukannya dengan sembunyi-sembunyi karena ia (yang dikenal sangat tawadhu’) khawatir bahwa apabila perbuatannya diketahui oleh orang lain, maka akan berubahlah niatnya yakni ingin mendapat pujian dari orang lain. Sedangkan Umar bin Khattab, ia melakukan hal tersebut secara terang-terangan agar dapat menjadi contoh bagi orang lain. Ia (yang dikenal teguh pendiriannya) berharap dengan dilakukannya perbuatan tersebut secara terang-terangan, justru akan memotivasi orang lain agar melakukan perbuatan serupa.
Dari kisah di atas, telah jelas bahwa ternyata bukan persoalan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, melainkan bagaimana hati ini memandang perbuatan yang dilakukan. Karena, bukan tidak mungkin orang yang melakukan secara sembunyi-sembunyi juga akan dihinggapi perasaan “ujub”, yakni ia merasa bahwa perbuatannya lebih baik dari orang lain. Jadi, telah jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan tidak bisa dianggap sebagai pencitraan atau riya belaka.
Untuk pertanyaan kedua, apabila kita sudah memahami jawaban dari pertanyaan pertama di atas tadi, maka sebenarnya kita sudah memiliki gambaran atas pertanyaan kedua. Apabila sudah dipahami bahwa perbuatan terang-terangan belum tentu tergolong riya, dan perbuatan sembunyi-sembunyi juga belum tentu lebih baik dari yang terang-terangan, maka telah jelaslah bahwa yang mengetahui “nia sebenarnyat” dari perbuatan-perbuatan tersebut adalah dirinya sendiri dan Tuhan. Ya. Karena hanya dirinya dan Tuhanlah yang mengetahui secara hakikat maksud dari perbuatan yang dilakukan. Orang lain boleh saja menganggap bahwa kita melakukan pencitraan, tapi kalau ternyata orang yang dimaksud justru melakukan dengan ikhlas dalam hatinya, bukankah orang yang menganggap orang lain melakukan pencitraan justru melakukan KEDENGKIAN terhadap orang yang dimaksud.
Sungguh, saya merasa miris melihat fenomena yang terjadi dalam pemilihan presiden ini. Banyak pendukung fanatis yang terkuras energinya, justru untuk menjelek-jelekkan pihak lawan dari calon presiden yang didukungnya. Bukankah dengan menjelek-jelekkan pihak lawan, yang terjadi justru adannya balasan serupa dari pihak lawan? Mengapa kita tidak menaruh fokus kita terhadap kebaikan apa yang akan dilakukan oleh calon presiden yang kita dukung? Bukankah itu lebih baik bagi kita semua, terlebih bagi bangsa ini? Atau, karena saking cintanya kita sudah menjadi gelap mata dan tak nampak lagi kebaikan yang ada pada diri lawan? Entahlah, tapi yang jelas, sikap yang kita munculkan suasana pemilihan presiden ini, merupakan gambawan dari diri kita yang sebenarnya. Apakah kita memang lebih suka melihat kekurangan orang lain dari pada kelebihannya, suka menjelek-jelekkan orang lain daripada kejelekan diri sendiri, suka mengumpat atau berkata kasar, itu semua dapat kita lihat dari perilaku kita masing-masing dalam menyikapi fenomena ini.
Melalui tulisan singkat ini, saya hanya ingin mengajak, janganlah kita terlalu mudah menilai perbuatan orang lain. Karena belum tentu apa yang kita nilai itu adalah hal yang benar. Kita (terlebih yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad SAW), hendaknya lebih mengedepankan prasangka baik terhadap orang lain. Bukankah Panutan kita selalu mengajarkan hal demikian, bahkan ketika sedang berhadapan dengan musuh Islam sekalipun. Semoga, kita dapat meniru pribadi beliau dan mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak. Amin.


Riya

Selasa, April 22, 2014 Unknown 0 Comments

Dulu, ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), saya mempunyai seorang teman yang berasal dari keluarga kaya. Ia seorang perempuan, namanya Riya. Suatu ketika ia datang ke sekolah dengan membawa mainan barunya, yaitu sebuah mobil-mobilan. Bagi anak-anak desa seperti kami, yang juga berasal dari keluarga biasa-biasa saja, tentu mainan tersebut sangat menarik perhatian kami. Di dalam kelas, kami melihat bagaimana Riya memainkan mainan tersebut. Tentu diiringi kehebohan dan kegirangan karena itu baru pertama kalinya kami melihat sebuah mobil kecil dapat berjalan sendiri seperti layaknya mobil betulan.
Sampai akhirnya, seorang guru masuk ke dalam kelas kami untuk memulai pelajaran. Saya masih ingat, pelajaran yang diajarkan ketika itu adalah mata pelajaran agama. Sebelum pelajaran dimulai, guru tersebut bertanya kepada kami semua “apakah sebutan untuk orang yang suka pamer?”, ditanya mendadak seperti itu kami hanya bisa terdiam. Kami memang sudah terbiasa mendengar istilah pamer. Akan tetapi, kami bertanya-tanya dalam hati kami masing-masing (atau setidaknya dalam hati saya sendiri), memang ada ya sebutan untuk orang yang pamer, orang yang sukanya pamer ya namanya orang pamer, itu tok.
Kemudian, ketika guru agama tersebut mendapati kami semua hanya terdiam, ia melanjutkan dengan memberi clue atas pertanyaannya tersebut. Sebutan untuk orang pamer, itu sama dengan nama dari salah satu teman kalian. Sontak kami langsung menerka-nerka. Siapa nama teman kami yang katanya “sama” dengan sebutan untuk orang yang suka pamer tersebut.
Kemudian ada salah satu dari teman saya yang menyeletuk, “Riya ya bu?”. Kemudian guru kami tersebut, tanpa ragu langsung menjawab, “iya benar, orang yang suka pamer itu disebut riya, dan riya juga di dalam Islam disebut dengan syirik kecil. Jadi kita tidak diperbolehkan riya”.
Entah ada hubungannya dengan kejadian sebelum pelajaran tersebut dimulai atau tidak, yakni ketika teman kami yang bernama Riya itu membawa mainan barunya untuk diperlihatkan kepada kami, sehingga menjadikan guru kami dengan tiba-tiba memberi pelajaran yang berkaitan dengan hal tersebut.
Tapi yang kemudian menjadi perhatian saya saat itu adalah, “masak sih cuma pamer aja bisa dikategorikan syirik kecil. Bukannya syirik itu termasuk dosa yang besar ya. Berarti pamer dosanya besar juga dong?” . Begitu pemikiran sederhana saya saat itu, dan itu hanya berani saya simpan saja di dalam hati tanpa bertanya kepada guru agama saya tersebut, juga kepada orang lain. Karena selain malu, sebenarnya saya juga masih tidak yakin dengan pertanyaan saya sendiri.
Sampai akhirnya, saat saya menginjak bangku kuliah saya baru memahami arti dari “pamer” tersebut. Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya saya mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang sedari SD saya pendam itu.
Kalau dipahami secara kasat mata, orang yang suka pamer atau seperti kata guru saya disebut dengan istilah riya itu, adalah sebuah perbuatan yang dilakukan agar dipuji oleh orang lain. Seseorang yang bermaksud pamer, tentu ia berharap agar dari perbuatannya itu ia akan dielu-elukan oleh orang lain. Hanya itu, tidak lebih.
Akan tetapi, sebenarnya perbuatan “kecil” tersebut mempunyai dampak yang besar. Mengapa orang yang suka pamer disebut riya, kemudian istilah riya sendiri dalam Islam termasuk kategori syirik kecil. Dan walaupun dikatakan syirik kecil, syirik sendiri sudah merupakan dosa yang besar, tentu hal tersebut bukan tanpa alasan.
Sebagai muslim, kita sudah jamak memahami bahwa apa yang kita lakukan di dunia ini hanyalah semata-mata untuk Allah Swt. Di dalam al-Quran sudah jelas dikatakan, “Dan tidaklah aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan hanya untuk menyembahKu semata”. Itu berarti, kita tidak diperkenankan melakukan suatu hal apapun, kecuali untuk Allah Swt.
Kembali ke pemahaman tentang riya, terlihat jelas bahwa melakukan sesuatu dengan niat agar dipuji dan dielu-elukan olah orang lain berarti menyalahi perintah Allah Swt tersebut. Karena itulah ia dianggap sebagai syirik kecil. Dikatakan kecil, karena orang yang riya tersebut walaupun melakukan suatu perbuatan yang ditujukan untuk orang lain, akan tetapi ia masih mempercayai Allah Swt sebagai tuhannya.
Oleh sebab itu, bertindak pamer sudah jelas menyalahi perintah Allah Swt. Perbuatan yang baik sekalipun, apabila dilakukan bukan dikarenakan Allah Swt, maka bukannya mendapatkan pahala dan ridha dari Allah, justru ia akan mendapatkan dosa. Contohnya, shalat. Shalat adalah perintah yang diberikan oleh Allah Swt secara langsung kepada umat Islam melalui nabi Muhammad Saw. Bahkan saking pentingnya perintah tersebut, Allah memberikan perintah  tersebut melalui peristiwa Isra’ wal mi’raj. Akan tetapi, bagi orang yang melakukan shalat dikarenakan pamer, bukannya menjadi jalan agar ia semakin dekat kepada Allah, justru ia tergolong kepada orang-orang yang celaka (Al-Ma’un: 4-6). Sungguh sangat kontradiktif, bukan?
Apabila semua yang kita lakukan didasarkan atas harapan ridha Allah Swt semata, maka setiap perbuatan yang kita lakukan akan bernilai ibadah. Begitu pula sebaliknya, walaupun kita melakukan ibadah mahdhah sekalipun (shalat, puasa, haji, dsb), akan tetapi tidak diiringi harapan atas ridhaNya, maka hanya kesia-siaan yang akan kita dapatkan.
Berdasarkan atas pemahaman di atas, sudah seharusnya kita melakukan introspeksi diri atas apa-apa yang telah kita lakukan selama ini. Sudahkah yang kita lakukan sesuai dengan apa yang diperintahkan olehNya? atau justru “hanya” mengharapkan pujian dari manusia belaka?

Kawah Condrodimuko, 23 April 2014




Objektivitas TV One?

Senin, Maret 03, 2014 Unknown 0 Comments

Pada artikel ini, saya tidak akan berbicara jauh tentang peran media dalam pembentukan opini di masyarakat. Saya hanya akan berbicara tentang salah satu kesukaan saya, yakni sepak bola. Barusan saja, di Tv One, saya menyaksikan sebuah review tentang pertandingan sepak bola tadi malam, yakni antara Atletico madrid melawan Real Madrid. Entah demi mengejar keuntungan materil semata, atau memang Tv One yang tidak menyukai Real Madrid, berita yang ditampilkan cenderung ingin memberikan citra buruk bagi Real Madrid.
Diawali dengan pendapat atau tagline yang tertulis di bawah layar, “Gol Benzema Offside?”, seorang pemandu berita mengatakan bahwa kontroversi terjadi tentang gol Benzema yang dianggap offside oleh pihak Atletico Madrid. Pada tayangan ulang, memang sempat terlihat protes yang diajukan oleh Diego Simeone (pelatih Atletico Madrid). Akan tetapi, bahkan setelah pertandingan usai, pelatih Atletico Madrid tersebut tidak memberikan pendapat soal wasit. Tentu saja hal tersebut dikarenakan ia telah melihat tayangan ulang bahwa gol Benzema memang tidak offside. Yang menarik dari pemberitaan di Tv One tersebut, walaupun dituliskan pada tagline-nya bahwa “Gol Benzema Offside?”, pihak Tv One tidak menayangkan ulang dari garis tepi yang dapat menunjukkan apakah gol tersebut benar-benar offside atau tidak. Mungkin, Pihak Tv One sudah tahu bahwa apabila diambil dari garis tepi tersebut, maka akan terlihat jelas bahwa gol Benzema tidaklah offside. Dan itu sama saja dengan menjawab tagline yang ditulis oleh pihak Tv One sendiri. Bahwa “Gol Benzema Tidaklah Offside”.
Kemudian, dilanjutkan dengan pemberitaan tentang Diego Costa (Striker Atletico Madrid) yang dilanggar Sergio Ramos (Bek Real Madrid) akan tetapi tidak diberikan penalti. Lagi-lagi Tv One seolah-olah ingin memberitakan bahwa Real Madrid kembali diuntungkan oleh wasit. Padahal dari tayangan ulang (yang hanya diputar sekali oleh pihak Tv One) menayangkan bahwa kontak fisik yang terjadi sangatlah minim. Dan untuk kedua kalinya tagline kedua Tv One dapat dibantah.
Terakhir, tag line dari stasiun Tv milik keluarga Bakrie ini menunjukkan bahwa Diego Costa dituduh berpura-pura terjatuh oleh wasit, dan itu memicu ketegangan dari staff pelatih. Akan tetapi, bagi orang yang menyaksikan pertandingan tersebut, terlihat jelas bahwa Diego Costa memang melakukan diving dan layak menerima kartu kuning. Diego Costa jatuh seolah-olah ia dilanggar oleh pihak lawan. Akan tetapi, dalam tayangan ulang pada pertandingan tersebut tidak terlihat kontak fisik yang terjadi dan yang terlihat jelas justru kepura-puraan yang ditunjukkan oleh Diego Costa pada saat dia terjatuh.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pertandingan antara Atletico Madrid vs Real Madrid memang berlangsung panas dan sengit. Akan tetapi, sungguh tidak bijaksana apabila Tv One berlebihan dalam memberikan review. Terlebih review yang diberikan cenderung berat sebelah. Atau mungkin hal tersebut merupakan cerminan dari sikap Tv One dalam memandang suatu hal. Ada sedikit saja isu yang menarik, maka Tv One akan mengolahnya seolah-olah terjadi kontroversi yang besar. Sehingga menjadi menarik untuk disaksikan. 
Saya memang menyukai Real Madrid. Akan tetapi secara objektif saya akan mengakui apabila Real Madrid diuntungkan atau dirugikan wasit. Tayangan yang baru saja ditampilkan Tv One membuat saya berpikir, bahwa media benar-benar mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk opini di masyarakat. Tidak jarang, masyarakat yang tidak memahami sebuah kasus secara mendalam, akan tetapi dengan adanya suguhan dari Stasiun TV, masyakarat dapat membenci bahkan mengutuk sebuah kasus yang belum tentu benar. Semuanya tergantung dari tingkat objektivitas yang diusung oleh stasiun TV yang memberitakan. Sama halnya dengan perkara sederhana tentang pertandingan sepakbola di atas. Bisa saja dan bukan tidak mungkin bagi orang yang tidak menyaksikan pertandingan tersebut dan hanya menyaksikan pemberitaan “berat sebelah” dari Tv One, maka orang tersebut akan membenci dan mengutuk Real Madrid. Entahlah. Pada akhirnya, sebagai bagian dari masyarakat, saya hanya bisa berharap semoga semua pihak yang terkait dapat memahami hal ini. Karena semua yang kita lakukan, pasti akan diminta pertanggungjawabannya nanti, pasti!
3 Maret 2014
Kawah Condrodimuko, Yogyakarta

IP (Indeks Prestasi) Kamu Berapa?

Selasa, Februari 04, 2014 Unknown 0 Comments

Sore tadi, seorang teman mengirimkan sebuah pesan kepada saya via whatsapp. Namanya Simin. Dalam pesannya ia mengatakan, alhamdulillah mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam saya dapat A. Seraya tersenyum saya menjawab pesannya dengan mengatakan, iya alhamdulillah ya.. selamat. Malamnya, ketika ia berkunjung ke kamar saya, tergambar jelas raut wajah kebahagiaan menghiasi air mukanya. Dan itu sangat berbeda sekali dengan beberapa hari yang lalu, ketika ia mengungkapkan sedikit masalahnya kepada saya, tentang nilai juga. "Loh.. kok saya dapet nilai B+ dan teman kita yang satu itu (sebut saja bunga, hehe) justru mendapat nilai A. Padahal ketika presentasi di kelas dulu, presentasinya kayak gitu, masih bagusan saya." Dan malam ini, Sepertinya kekecewaannya telah sedikit terobati. 
Namun, pada kunjungannya ke kamar saya ini, ternyata menyisakan sebuah pelajaran yang sangat dalam dan membuat saya berpikir tentang suatu hal yang selama ini saya lupakan dan tidak pedulikan. Pada kunjungannya ke kamar saya, ia sempat menyinggung soal nilai A yang ia dapatkan dan ia ketahui hari ini. Saat itu, selain saya ada juga teman saya yang lain. Namanya Sisuf, yang kebetulan ia juga merupakan teman sekelas saya dan Simin di kampus. Ketika Sisuf mendengar bahwa Simin mendapat nilai A, lantas ia juga penasaran dan bertanya, "kalo aku dapat nilai apa?", dan dijawab oleh Simin bahwa ia juga mendapat nilai A. Kemudian, Sisuf juga menanyakan kepadanya, "kalo mas Raziq (yang dimaksud adalah saya) dapat nilai apa?" tapi sebelum Simin menjawab, Sisuf meneruskan pertanyaannya seolah justru menjawab pertanyaannya sendiri. "Eh.. mas Raziq kan satu kelompok sama saya pas presentasi kemarin, malah pas revisi kemarin ia yang mengerjakan sendirian. Pasti ya nilainya sama, dapet A juga". Tapi ternyata, Simin yang memang telah melihat daftar nilainya mengatakan tidak demikian. "Enggak juga, buktinya saya presentasi satu kelompok sama mas Alim, tapi dia dapet nilai B+". Dan kemudian dilanjutkan dengan mengatakan bahwa saya memang mendapatkan nilai yang tidak sama dengan Sisuf, saya mendapat nilai A-, ungkapnya.
 Akan tetapi, ketika ia mengatakan hal yang demikian, ada sesuatu yang terlintas di pikiran saya. Tidak, saya tidak memikirkan nilai yang saya dapat. Pada perkuliahan S2 ini saya memang tidak menjadikan nilai sebagai orientasi, orientasi saya lebih kepada ilmu apa yang telah saya dapatkan. Yang saya pikirkan pada saat itu, bukankah pada beberapa hari yang lalu Simin juga mengalami hal yang serupa. Akan tetapi pada kali ini ia berada di pihak yang lain. Kemarin, adalah Bunga yang ia rasa tidak pantas mendapatkan nilai yang lebih baik daripadanya, yang padahal menurutnya ia lebih baik daripada Bunga. Sedangkan pada malam ini, justru Simin yang mendapatkan nilai yang lebih baik daripada teman kelompoknya yang lain. Yang menurut pandangan pribadi saya, teman kelompoknya lebih baik atau setidaknya sama dari Simin dalam hal presentasi.
Saya menjadi berpikir, ternyata manusia itu hanya mau enaknya sendiri. Ketika ia mendapatkan keburukan, seketika itu pula ia menyalahkan orang lain sebagai penyebab terjadinya keburukan. Akan tetapi, ketika ia mendapatkan kebaikan (yang terkadang ia sendiri mungkin tidak pantas atas kebaikan tersebut) cenderung bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan ia merasa beruntung akan hal yang ia dapatkan.
Kalau kita pahami kejadian di atas. Kebanyakan manusia “hanya” menghendaki segala hal yang menguntungkan bagi dirinya. Apapun itu bentuk dan asalnya. Yang ada dipikirannya hanyalah soal untung dan rugi. Kalau itu menguntungkan saya, baik benar atau salah, layak atau tidak, maka itu tidak menjadi persoalan. Kalau itu merugikan dirinya, maka ia akan mencari sebab “di luar ” dirinya mengapa ia mendapat keburukan tersebut.
Simin yang mendapat keburukan, ia tidak mau menerimanya dan kecewa. Akan tetapi ketika ia mendapat kebaikan, ia tidak peduli apakah ia memang layak untuk itu atau tidak.
Dalam hal yang lain, sebenarnya hal tersebut sering terjadi. Ketika kita mendapat musibah seperti sakit, kehilangan harta benda, dan lain sebagainya. Entah itu spontan atau tidak, kita sering mengatakan, “Ya Allah.. salah saya apa.. sehingga engkau tega memberikan cobaan yang begitu berat kepada saya”. Dan ketika ia mendapatkan keuntungan, jarang ada orang yang mengatakan, “Ya Allah.. apakah saya memang layak untuk mendapatkan ini..”. dan masih banyak lagi contoh yang serupa.
Syair Abu Nawas yang terkenal itu, sejatinya telah memberikan contoh kepada kita agar mau memahami hakikat hidup ini. “Wahai Tuhan.. Aku tak layak masuk ke SurgaMu.. Namun aku juga tak sanggup masuk ke NerakaMu.. Maka kami mohon taubat dan ampun atas dosaku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosa..”.
Ingatan saya melayang saat saya masih duduk di bangku SMP kelas 1. Pada saat itu, ketika nilai ujian harian dibagikan, ada teman saya yang maju menghadap guru dan kemudian meminta guru tersebut untuk mengoreksi kembali lembar ujiannya. Ia berkata kepada guru tersebut, “Bu, ini punya saya kok dibenarkan, padahal teman saya yang lain jawabannya sama seperti saya dan ternyata salah”. Ia justru mengadu kepada guru tersebut mengapa jawabannya dibenarkan.
Terkadang, kita harus kembali menjadi anak-anak agar dapat menjadi “polos” dalam menjalani hidup ini. Kalau kita tidak suka, kita akan bilang tidak suka. Kalau ada hal yang salah, kita akan mengatakan itu salah. Kalau kita merasa tidak layak akan sesuatu, tanpa sungkan kita akan mengakui bahwa kita memang tidak layak.
4 Februari 2014

Kawah Condrodimuko, Yogyakarta 

Langkah Kecil Demi Perubahan Besar

Rabu, Januari 22, 2014 Unknown 0 Comments

Bismillahirrahmanirrahim

Pada hari ini, untuk kesekian kalinya saya menginginkan sebuah perubahan yang berarti bagi hidup saya. Sebuah perubahan yang saya harap tidak hanya berguna bagi diri saya, melainkan juga bagi orang lain. Karena saya yakin dan percaya, kebahagiaan terbesar adalah ketika melihat orang lain merasa bahagia atas keberadaan kita. 
Sebelum hari ini, sebenarnya saya sudah sering mengalami perasaan semacam ini. Akan tetapi, entah kenapa masih sebatas angan-angan dan harapan. Lebih jauh, ingin rasanya menjadi orang yang dapat bermanfaat bagi bangsa yang saya cintai ini. Tapi bagaimana caranya? saya sangat mengerti, begitu banyak orang yang memiliki mimpi-mimpi yang sangat tinggi, tapi seiring berjalannya waktu, mimpi tersebut seolah tergadaikan. Mimpi tersebut berganti menjadi sikap "realistis" dalam menjalani hidup ini, hidup apa adanya asalkan dapat bertahan hidup. 
Sejenak saya berpikir, apakah saya akan menjadi bagian dari orang-orang yang seperti itu? mempunyai mimpi-mimpi yang menjulang tinggi, yang saat ini masih bersemayam dalam pikiran saya, dan pada akhirnya melepasnya begitu saja. Tidak, saya tidak ingin menjadi seperti itu. Saya ingin menggenggam mimpi-mimpi saya. Saya ingin merealisasikannya. Saya ingin menjadikannya sebagai mimpi pada saat ini, dan menjadi realita pada akhirnya. Dan itu semua berawal dari blog ini. Sejatinya ini bukanlah blog pertama saya. Saya pernah memiliki sebuah blog yang cukup menarik, akan tetapi sebagian besar hanya berisi kumpulan tugas maupun makalah saya semasa kuliah S1 (yang memang tidak diniatkan untuk mengisi blog), dan hanya sebagian kecil saja yang merupakan tulisan untuk sebuah blog. Akan tetapi, saya rasa saya harus memulai dengan sesuatu yang baru. Sesuatu yang dapat menjadi titik awal. Melalui blog ini, dan dengan semangat baru ini. Semoga.

23 Januari 2014
Kawah Condrodimuko, Yogyakarta