When someone else’s happiness is your happiness, that’s love

Kamis, Februari 04, 2016 Unknown 0 Comments

Tadi malam, ketika saya membuka twitter dan kemudian saya melihat kutipan tersebut, ntah kenapa, saya langsung teringat kepada hadits Nabi SAW yang mengatakan, “Khairunnas an’fauhum linnaas”, yang kurang lebih artinya: “sebaik-baik manusia ialah ia yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain”.

Hadits yang sudah sangat masyhur memang, bahkan kepada orang awan sekalipun. Akan tetapi, (mungkin) dikarenakan kemasyuharannya-lah yang justru menjadikan hadits tersebut jarang direnungi secara lebih mendalam. Yaah.. hanya sebatas “tahu” bahwa menjadi orang yang dapat memberi manfaat kpd orang lain adalah hal yang baik, sudah, itu saja, titik.

Padahal, kalau direnungi dan dipahami lebih lanjut, hadits tersebut mengajarkan kepada kita bahwa kalau kita ingin menjadi manusia yang sesungguhnya, manusia yang benar-benar manusia, maka mau tidak mau kita harus bisa/mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Tidak ada lagi kata “aku” dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, semuanya sudah kita serahkan demi kebermanfaatan kita terhadap orang lain.

Fatimah Az-Zahra, putri kesayangan Rasulullah telah memberikan contoh yang sangat memukau berkenaan dengan hal ini. Imam Shadiq meriwayatkan dari kakek-kakeknya bahwa Imam Hasan bin Ali berkata, “Di setiap malam Jumat, ibuku beribadah hingga fajar menyingsing. Ketika ia mengangkat tangannya untuk berdoa, ia selalu berdoa untuk kepentingan orang lain dan ia tidak pernah berdoa untuk dirinya sendiri. Suatu hari aku bertanya kepadanya, ‘Ibu, mengapa kau tidak pernah berdoa untuk diri Anda sendiri sebagaimana kau mendoakan orang lain?’ ‘Tetangga harus didahulukan, wahai putraku,’ jawabnya singkat.”

Sayyidatuna Fatimah, tentu sangat tahu, bahwa ketika ia mendoakan kebaikan untuk orang lain, maka secara “otomatis” para malaikat akan mendoakannya sebagaimana doa yang ia panjatkan untuk orang lain tersebut.

Kembali kepada kutipan yang saya cantumkan di awal tulisan ini, dan kemudian saya cari titik temu dengan hadits Rasulullah SAW yang sudah satu setengah abad lebih itu, saya semakin tersadar bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kasih sayang, atau dalam bahasa kita saat ini, cinta.

Ya, Islam adalah agama cinta. Cinta yang tidak hanya kepada sesama manusia saja melainkan kepada hewan, tumbuhan, dan segala yang ada di muka bumi ini, cinta kepada seluruh alam.


Ketika dalam kutipan tersebut dikatakan bahwa cinta, adalah saat kebahagiaan orang lain menjadi kebahagiaan kita, maka tidak ada lagi kata yang lebih agung yang dapat mendeskripsikan apa itu cinta. Sebab, tidak semua orang akan merasa bahagia apabila melihat kebahagiaan orang lain. Yang sering muncul justru rasa iri hati, dengki, dan semacamnya. Ketika kemudian kita dapat merasa bahagia dikarenakan kebahagiaan yang sebenarnya “milik orang lain”, maka secara tidak langsung kita telah menjadikan orang lain itu menjadi bagian dari diri kita. Dan ketika sudah menjadi bagian dari diri kita, bukankah itu adalah titik kesempurnaan dari cinta? Allahu a’lam..