Hey, lihat! Dia sedang melakukan pencitraan!!

Sabtu, Juli 05, 2014 Unknown 0 Comments


Saat ini, di tengah hiruk pikuk nuansa politik dalam rangka menyambut pilpres 5 Juli nanti, muncul berbagai isu miring tentang calon presiden. Entah itu persoalan HAM, kasus karatan bus trans Jakarta, dan lain sebagainya. Akan tetapi, satu hal yang menarik perhatian saya adalah isu tentang pencitraan. Sebenarnya isu ini tidak hanya terjadi menjelang pilpres saja, melainkan pada hari biasa pun kerap terdengar. Masih ingat, ketika Dahlan Iskan pergi bekerja menggunakan kereta ekonomi? Dan ketika ia melempar kursi penjagaan jalan tol? Saat itu, tidak sedikit yang menganggapnya bahwa ia hanya melakukan pencitraan belaka. Sebenarnya yang dinamakan pencitraan itu seperti apa?
Pencitraan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gambaran diri yang ingin diciptakan oleh seseorang, dan itu dalam skala yang sangat luas. Kegiatan apapun itu, asal dilakukan dengan niatan agar orang lain dapat menganggapnya sebagai cerminan dari sifat, maka kegiatan pencitraannya bisa dikatakan berhasil. Ketika ada seseorang yang kesehariannya berbicara dengan serius, maka ia ingin agar orang lain menganggapnya sebagai orang yang serius. Itu adalah pengertian singkat mengenai pencitraan.
Kemudian, bagaimana Islam memandang pencitraan ini? Dalam Islam, pencitraan lebih familiar dengan istilah “riya”. Kurang lebih maknanya sama, yakni melakukan suatu perbuatan yang dianggap baik agar dirinya dinilai baik. Ia melakukan perbuatan tersebut “hanya” untuk mendapat pengakuan dari orang lain, bukan untuk Allah. Perbuatan ini, sudah terjadi sejak dahulu, hampir 15 abad bahkan lebih. Sampai-sampai Rasul SAW bersabda, yang kurang lebih artinya: “hal paling aku khawatirkan terjadi atas umatku adalah Syirik kepada Allah, aku tidak mengatakan engkau akan menyembah patung, bulan atau matahari. Akan tetapi perbuatan yang dilakukan bukan karena Allah dan syahwat yang tersembunyi”. Peringatan yang diberikan oleh Rasul SAW tersebut, tentu menyiratkan betapa bahayanya riya atau pencitraan itu. Sehingga ia tergolong kepada syirik kecil.   
Setelah kita memahami betapa bahaya dan dosa bagi orang yang melakukan riya atau pencitraan tersebut, kemudian muncul pertanyaan, apakah setiap hal yang dilakukan secara terang-terangan langsung mendapat justifikasi bahwa itu adalah riya? Dan siapakah yang berhak untuk men-judge apakah suatu perbuatan itu tergolong riya atau tidak?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, saya akan mengisahkah dua kisah sahabat Rasul SAW, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Menurut beberapa riwayat, bahwa ketika Abu Bakar akan membayar zakat ataupun sedekah, maka ia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan, Umar bin Khattab ketika melakukan hal seperti di atas, ia melakukannya dengan terang-terangan. Kemudian peristiwa ini diadukan kepada Rasul SAW, untuk bertanya, manakah yang benar di antara keduanya.
Rasul SAW kemudian menjawab bahwa kedua-duanya benar. Abu Bakar Ash-Shiddiq melakukannya dengan sembunyi-sembunyi karena ia (yang dikenal sangat tawadhu’) khawatir bahwa apabila perbuatannya diketahui oleh orang lain, maka akan berubahlah niatnya yakni ingin mendapat pujian dari orang lain. Sedangkan Umar bin Khattab, ia melakukan hal tersebut secara terang-terangan agar dapat menjadi contoh bagi orang lain. Ia (yang dikenal teguh pendiriannya) berharap dengan dilakukannya perbuatan tersebut secara terang-terangan, justru akan memotivasi orang lain agar melakukan perbuatan serupa.
Dari kisah di atas, telah jelas bahwa ternyata bukan persoalan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, melainkan bagaimana hati ini memandang perbuatan yang dilakukan. Karena, bukan tidak mungkin orang yang melakukan secara sembunyi-sembunyi juga akan dihinggapi perasaan “ujub”, yakni ia merasa bahwa perbuatannya lebih baik dari orang lain. Jadi, telah jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan tidak bisa dianggap sebagai pencitraan atau riya belaka.
Untuk pertanyaan kedua, apabila kita sudah memahami jawaban dari pertanyaan pertama di atas tadi, maka sebenarnya kita sudah memiliki gambaran atas pertanyaan kedua. Apabila sudah dipahami bahwa perbuatan terang-terangan belum tentu tergolong riya, dan perbuatan sembunyi-sembunyi juga belum tentu lebih baik dari yang terang-terangan, maka telah jelaslah bahwa yang mengetahui “nia sebenarnyat” dari perbuatan-perbuatan tersebut adalah dirinya sendiri dan Tuhan. Ya. Karena hanya dirinya dan Tuhanlah yang mengetahui secara hakikat maksud dari perbuatan yang dilakukan. Orang lain boleh saja menganggap bahwa kita melakukan pencitraan, tapi kalau ternyata orang yang dimaksud justru melakukan dengan ikhlas dalam hatinya, bukankah orang yang menganggap orang lain melakukan pencitraan justru melakukan KEDENGKIAN terhadap orang yang dimaksud.
Sungguh, saya merasa miris melihat fenomena yang terjadi dalam pemilihan presiden ini. Banyak pendukung fanatis yang terkuras energinya, justru untuk menjelek-jelekkan pihak lawan dari calon presiden yang didukungnya. Bukankah dengan menjelek-jelekkan pihak lawan, yang terjadi justru adannya balasan serupa dari pihak lawan? Mengapa kita tidak menaruh fokus kita terhadap kebaikan apa yang akan dilakukan oleh calon presiden yang kita dukung? Bukankah itu lebih baik bagi kita semua, terlebih bagi bangsa ini? Atau, karena saking cintanya kita sudah menjadi gelap mata dan tak nampak lagi kebaikan yang ada pada diri lawan? Entahlah, tapi yang jelas, sikap yang kita munculkan suasana pemilihan presiden ini, merupakan gambawan dari diri kita yang sebenarnya. Apakah kita memang lebih suka melihat kekurangan orang lain dari pada kelebihannya, suka menjelek-jelekkan orang lain daripada kejelekan diri sendiri, suka mengumpat atau berkata kasar, itu semua dapat kita lihat dari perilaku kita masing-masing dalam menyikapi fenomena ini.
Melalui tulisan singkat ini, saya hanya ingin mengajak, janganlah kita terlalu mudah menilai perbuatan orang lain. Karena belum tentu apa yang kita nilai itu adalah hal yang benar. Kita (terlebih yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad SAW), hendaknya lebih mengedepankan prasangka baik terhadap orang lain. Bukankah Panutan kita selalu mengajarkan hal demikian, bahkan ketika sedang berhadapan dengan musuh Islam sekalipun. Semoga, kita dapat meniru pribadi beliau dan mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak. Amin.

Hey, lihat! Dia sedang melakukan pencitraan!!

Jumat, Juli 04, 2014 Unknown 0 Comments

Saat ini, di tengah hiruk pikuk nuansa politik dalam rangka menyambut pilpres 5 Juli nanti, muncul berbagai isu miring tentang calon presiden. Entah itu persoalan HAM, kasus karatan bus trans Jakarta, dan lain sebagainya. Akan tetapi, satu hal yang menarik perhatian saya adalah isu tentang pencitraan. Sebenarnya isu ini tidak hanya terjadi menjelang pilpres saja, melainkan pada hari biasa pun kerap terdengar. Masih ingat, ketika Dahlan Iskan pergi bekerja menggunakan kereta ekonomi? Dan ketika ia melempar kursi penjagaan jalan tol? Saat itu, tidak sedikit yang menganggapnya bahwa ia hanya melakukan pencitraan belaka. Sebenarnya yang dinamakan pencitraan itu seperti apa?
Pencitraan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gambaran diri yang ingin diciptakan oleh seseorang, dan itu dalam skala yang sangat luas. Kegiatan apapun itu, asal dilakukan dengan niatan agar orang lain dapat menganggapnya sebagai cerminan dari sifat, maka kegiatan pencitraannya bisa dikatakan berhasil. Ketika ada seseorang yang kesehariannya berbicara dengan serius, maka ia ingin agar orang lain menganggapnya sebagai orang yang serius. Itu adalah pengertian singkat mengenai pencitraan.
Kemudian, bagaimana Islam memandang pencitraan ini? Dalam Islam, pencitraan lebih familiar dengan istilah “riya”. Kurang lebih maknanya sama, yakni melakukan suatu perbuatan yang dianggap baik agar dirinya dinilai baik. Ia melakukan perbuatan tersebut “hanya” untuk mendapat pengakuan dari orang lain, bukan untuk Allah. Perbuatan ini, sudah terjadi sejak dahulu, hampir 15 abad bahkan lebih. Sampai-sampai Rasul SAW bersabda, yang kurang lebih artinya: “hal paling aku khawatirkan terjadi atas umatku adalah Syirik kepada Allah, aku tidak mengatakan engkau akan menyembah patung, bulan atau matahari. Akan tetapi perbuatan yang dilakukan bukan karena Allah dan syahwat yang tersembunyi”. Peringatan yang diberikan oleh Rasul SAW tersebut, tentu menyiratkan betapa bahayanya riya atau pencitraan itu. Sehingga ia tergolong kepada syirik kecil.   
Setelah kita memahami betapa bahaya dan dosa bagi orang yang melakukan riya atau pencitraan tersebut, kemudian muncul pertanyaan, apakah setiap hal yang dilakukan secara terang-terangan langsung mendapat justifikasi bahwa itu adalah riya? Dan siapakah yang berhak untuk men-judge apakah suatu perbuatan itu tergolong riya atau tidak?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, saya akan mengisahkah dua kisah sahabat Rasul SAW, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Menurut beberapa riwayat, bahwa ketika Abu Bakar akan membayar zakat ataupun sedekah, maka ia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan, Umar bin Khattab ketika melakukan hal seperti di atas, ia melakukannya dengan terang-terangan. Kemudian peristiwa ini diadukan kepada Rasul SAW, untuk bertanya, manakah yang benar di antara keduanya.
Rasul SAW kemudian menjawab bahwa kedua-duanya benar. Abu Bakar Ash-Shiddiq melakukannya dengan sembunyi-sembunyi karena ia (yang dikenal sangat tawadhu’) khawatir bahwa apabila perbuatannya diketahui oleh orang lain, maka akan berubahlah niatnya yakni ingin mendapat pujian dari orang lain. Sedangkan Umar bin Khattab, ia melakukan hal tersebut secara terang-terangan agar dapat menjadi contoh bagi orang lain. Ia (yang dikenal teguh pendiriannya) berharap dengan dilakukannya perbuatan tersebut secara terang-terangan, justru akan memotivasi orang lain agar melakukan perbuatan serupa.
Dari kisah di atas, telah jelas bahwa ternyata bukan persoalan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, melainkan bagaimana hati ini memandang perbuatan yang dilakukan. Karena, bukan tidak mungkin orang yang melakukan secara sembunyi-sembunyi juga akan dihinggapi perasaan “ujub”, yakni ia merasa bahwa perbuatannya lebih baik dari orang lain. Jadi, telah jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan tidak bisa dianggap sebagai pencitraan atau riya belaka.
Untuk pertanyaan kedua, apabila kita sudah memahami jawaban dari pertanyaan pertama di atas tadi, maka sebenarnya kita sudah memiliki gambaran atas pertanyaan kedua. Apabila sudah dipahami bahwa perbuatan terang-terangan belum tentu tergolong riya, dan perbuatan sembunyi-sembunyi juga belum tentu lebih baik dari yang terang-terangan, maka telah jelaslah bahwa yang mengetahui “nia sebenarnyat” dari perbuatan-perbuatan tersebut adalah dirinya sendiri dan Tuhan. Ya. Karena hanya dirinya dan Tuhanlah yang mengetahui secara hakikat maksud dari perbuatan yang dilakukan. Orang lain boleh saja menganggap bahwa kita melakukan pencitraan, tapi kalau ternyata orang yang dimaksud justru melakukan dengan ikhlas dalam hatinya, bukankah orang yang menganggap orang lain melakukan pencitraan justru melakukan KEDENGKIAN terhadap orang yang dimaksud.
Sungguh, saya merasa miris melihat fenomena yang terjadi dalam pemilihan presiden ini. Banyak pendukung fanatis yang terkuras energinya, justru untuk menjelek-jelekkan pihak lawan dari calon presiden yang didukungnya. Bukankah dengan menjelek-jelekkan pihak lawan, yang terjadi justru adannya balasan serupa dari pihak lawan? Mengapa kita tidak menaruh fokus kita terhadap kebaikan apa yang akan dilakukan oleh calon presiden yang kita dukung? Bukankah itu lebih baik bagi kita semua, terlebih bagi bangsa ini? Atau, karena saking cintanya kita sudah menjadi gelap mata dan tak nampak lagi kebaikan yang ada pada diri lawan? Entahlah, tapi yang jelas, sikap yang kita munculkan suasana pemilihan presiden ini, merupakan gambawan dari diri kita yang sebenarnya. Apakah kita memang lebih suka melihat kekurangan orang lain dari pada kelebihannya, suka menjelek-jelekkan orang lain daripada kejelekan diri sendiri, suka mengumpat atau berkata kasar, itu semua dapat kita lihat dari perilaku kita masing-masing dalam menyikapi fenomena ini.
Melalui tulisan singkat ini, saya hanya ingin mengajak, janganlah kita terlalu mudah menilai perbuatan orang lain. Karena belum tentu apa yang kita nilai itu adalah hal yang benar. Kita (terlebih yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad SAW), hendaknya lebih mengedepankan prasangka baik terhadap orang lain. Bukankah Panutan kita selalu mengajarkan hal demikian, bahkan ketika sedang berhadapan dengan musuh Islam sekalipun. Semoga, kita dapat meniru pribadi beliau dan mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak. Amin.