Riya

Selasa, April 22, 2014 Unknown 0 Comments

Dulu, ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), saya mempunyai seorang teman yang berasal dari keluarga kaya. Ia seorang perempuan, namanya Riya. Suatu ketika ia datang ke sekolah dengan membawa mainan barunya, yaitu sebuah mobil-mobilan. Bagi anak-anak desa seperti kami, yang juga berasal dari keluarga biasa-biasa saja, tentu mainan tersebut sangat menarik perhatian kami. Di dalam kelas, kami melihat bagaimana Riya memainkan mainan tersebut. Tentu diiringi kehebohan dan kegirangan karena itu baru pertama kalinya kami melihat sebuah mobil kecil dapat berjalan sendiri seperti layaknya mobil betulan.
Sampai akhirnya, seorang guru masuk ke dalam kelas kami untuk memulai pelajaran. Saya masih ingat, pelajaran yang diajarkan ketika itu adalah mata pelajaran agama. Sebelum pelajaran dimulai, guru tersebut bertanya kepada kami semua “apakah sebutan untuk orang yang suka pamer?”, ditanya mendadak seperti itu kami hanya bisa terdiam. Kami memang sudah terbiasa mendengar istilah pamer. Akan tetapi, kami bertanya-tanya dalam hati kami masing-masing (atau setidaknya dalam hati saya sendiri), memang ada ya sebutan untuk orang yang pamer, orang yang sukanya pamer ya namanya orang pamer, itu tok.
Kemudian, ketika guru agama tersebut mendapati kami semua hanya terdiam, ia melanjutkan dengan memberi clue atas pertanyaannya tersebut. Sebutan untuk orang pamer, itu sama dengan nama dari salah satu teman kalian. Sontak kami langsung menerka-nerka. Siapa nama teman kami yang katanya “sama” dengan sebutan untuk orang yang suka pamer tersebut.
Kemudian ada salah satu dari teman saya yang menyeletuk, “Riya ya bu?”. Kemudian guru kami tersebut, tanpa ragu langsung menjawab, “iya benar, orang yang suka pamer itu disebut riya, dan riya juga di dalam Islam disebut dengan syirik kecil. Jadi kita tidak diperbolehkan riya”.
Entah ada hubungannya dengan kejadian sebelum pelajaran tersebut dimulai atau tidak, yakni ketika teman kami yang bernama Riya itu membawa mainan barunya untuk diperlihatkan kepada kami, sehingga menjadikan guru kami dengan tiba-tiba memberi pelajaran yang berkaitan dengan hal tersebut.
Tapi yang kemudian menjadi perhatian saya saat itu adalah, “masak sih cuma pamer aja bisa dikategorikan syirik kecil. Bukannya syirik itu termasuk dosa yang besar ya. Berarti pamer dosanya besar juga dong?” . Begitu pemikiran sederhana saya saat itu, dan itu hanya berani saya simpan saja di dalam hati tanpa bertanya kepada guru agama saya tersebut, juga kepada orang lain. Karena selain malu, sebenarnya saya juga masih tidak yakin dengan pertanyaan saya sendiri.
Sampai akhirnya, saat saya menginjak bangku kuliah saya baru memahami arti dari “pamer” tersebut. Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya saya mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang sedari SD saya pendam itu.
Kalau dipahami secara kasat mata, orang yang suka pamer atau seperti kata guru saya disebut dengan istilah riya itu, adalah sebuah perbuatan yang dilakukan agar dipuji oleh orang lain. Seseorang yang bermaksud pamer, tentu ia berharap agar dari perbuatannya itu ia akan dielu-elukan oleh orang lain. Hanya itu, tidak lebih.
Akan tetapi, sebenarnya perbuatan “kecil” tersebut mempunyai dampak yang besar. Mengapa orang yang suka pamer disebut riya, kemudian istilah riya sendiri dalam Islam termasuk kategori syirik kecil. Dan walaupun dikatakan syirik kecil, syirik sendiri sudah merupakan dosa yang besar, tentu hal tersebut bukan tanpa alasan.
Sebagai muslim, kita sudah jamak memahami bahwa apa yang kita lakukan di dunia ini hanyalah semata-mata untuk Allah Swt. Di dalam al-Quran sudah jelas dikatakan, “Dan tidaklah aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan hanya untuk menyembahKu semata”. Itu berarti, kita tidak diperkenankan melakukan suatu hal apapun, kecuali untuk Allah Swt.
Kembali ke pemahaman tentang riya, terlihat jelas bahwa melakukan sesuatu dengan niat agar dipuji dan dielu-elukan olah orang lain berarti menyalahi perintah Allah Swt tersebut. Karena itulah ia dianggap sebagai syirik kecil. Dikatakan kecil, karena orang yang riya tersebut walaupun melakukan suatu perbuatan yang ditujukan untuk orang lain, akan tetapi ia masih mempercayai Allah Swt sebagai tuhannya.
Oleh sebab itu, bertindak pamer sudah jelas menyalahi perintah Allah Swt. Perbuatan yang baik sekalipun, apabila dilakukan bukan dikarenakan Allah Swt, maka bukannya mendapatkan pahala dan ridha dari Allah, justru ia akan mendapatkan dosa. Contohnya, shalat. Shalat adalah perintah yang diberikan oleh Allah Swt secara langsung kepada umat Islam melalui nabi Muhammad Saw. Bahkan saking pentingnya perintah tersebut, Allah memberikan perintah  tersebut melalui peristiwa Isra’ wal mi’raj. Akan tetapi, bagi orang yang melakukan shalat dikarenakan pamer, bukannya menjadi jalan agar ia semakin dekat kepada Allah, justru ia tergolong kepada orang-orang yang celaka (Al-Ma’un: 4-6). Sungguh sangat kontradiktif, bukan?
Apabila semua yang kita lakukan didasarkan atas harapan ridha Allah Swt semata, maka setiap perbuatan yang kita lakukan akan bernilai ibadah. Begitu pula sebaliknya, walaupun kita melakukan ibadah mahdhah sekalipun (shalat, puasa, haji, dsb), akan tetapi tidak diiringi harapan atas ridhaNya, maka hanya kesia-siaan yang akan kita dapatkan.
Berdasarkan atas pemahaman di atas, sudah seharusnya kita melakukan introspeksi diri atas apa-apa yang telah kita lakukan selama ini. Sudahkah yang kita lakukan sesuai dengan apa yang diperintahkan olehNya? atau justru “hanya” mengharapkan pujian dari manusia belaka?

Kawah Condrodimuko, 23 April 2014