IP (Indeks Prestasi) Kamu Berapa?

Selasa, Februari 04, 2014 Unknown 0 Comments

Sore tadi, seorang teman mengirimkan sebuah pesan kepada saya via whatsapp. Namanya Simin. Dalam pesannya ia mengatakan, alhamdulillah mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam saya dapat A. Seraya tersenyum saya menjawab pesannya dengan mengatakan, iya alhamdulillah ya.. selamat. Malamnya, ketika ia berkunjung ke kamar saya, tergambar jelas raut wajah kebahagiaan menghiasi air mukanya. Dan itu sangat berbeda sekali dengan beberapa hari yang lalu, ketika ia mengungkapkan sedikit masalahnya kepada saya, tentang nilai juga. "Loh.. kok saya dapet nilai B+ dan teman kita yang satu itu (sebut saja bunga, hehe) justru mendapat nilai A. Padahal ketika presentasi di kelas dulu, presentasinya kayak gitu, masih bagusan saya." Dan malam ini, Sepertinya kekecewaannya telah sedikit terobati. 
Namun, pada kunjungannya ke kamar saya ini, ternyata menyisakan sebuah pelajaran yang sangat dalam dan membuat saya berpikir tentang suatu hal yang selama ini saya lupakan dan tidak pedulikan. Pada kunjungannya ke kamar saya, ia sempat menyinggung soal nilai A yang ia dapatkan dan ia ketahui hari ini. Saat itu, selain saya ada juga teman saya yang lain. Namanya Sisuf, yang kebetulan ia juga merupakan teman sekelas saya dan Simin di kampus. Ketika Sisuf mendengar bahwa Simin mendapat nilai A, lantas ia juga penasaran dan bertanya, "kalo aku dapat nilai apa?", dan dijawab oleh Simin bahwa ia juga mendapat nilai A. Kemudian, Sisuf juga menanyakan kepadanya, "kalo mas Raziq (yang dimaksud adalah saya) dapat nilai apa?" tapi sebelum Simin menjawab, Sisuf meneruskan pertanyaannya seolah justru menjawab pertanyaannya sendiri. "Eh.. mas Raziq kan satu kelompok sama saya pas presentasi kemarin, malah pas revisi kemarin ia yang mengerjakan sendirian. Pasti ya nilainya sama, dapet A juga". Tapi ternyata, Simin yang memang telah melihat daftar nilainya mengatakan tidak demikian. "Enggak juga, buktinya saya presentasi satu kelompok sama mas Alim, tapi dia dapet nilai B+". Dan kemudian dilanjutkan dengan mengatakan bahwa saya memang mendapatkan nilai yang tidak sama dengan Sisuf, saya mendapat nilai A-, ungkapnya.
 Akan tetapi, ketika ia mengatakan hal yang demikian, ada sesuatu yang terlintas di pikiran saya. Tidak, saya tidak memikirkan nilai yang saya dapat. Pada perkuliahan S2 ini saya memang tidak menjadikan nilai sebagai orientasi, orientasi saya lebih kepada ilmu apa yang telah saya dapatkan. Yang saya pikirkan pada saat itu, bukankah pada beberapa hari yang lalu Simin juga mengalami hal yang serupa. Akan tetapi pada kali ini ia berada di pihak yang lain. Kemarin, adalah Bunga yang ia rasa tidak pantas mendapatkan nilai yang lebih baik daripadanya, yang padahal menurutnya ia lebih baik daripada Bunga. Sedangkan pada malam ini, justru Simin yang mendapatkan nilai yang lebih baik daripada teman kelompoknya yang lain. Yang menurut pandangan pribadi saya, teman kelompoknya lebih baik atau setidaknya sama dari Simin dalam hal presentasi.
Saya menjadi berpikir, ternyata manusia itu hanya mau enaknya sendiri. Ketika ia mendapatkan keburukan, seketika itu pula ia menyalahkan orang lain sebagai penyebab terjadinya keburukan. Akan tetapi, ketika ia mendapatkan kebaikan (yang terkadang ia sendiri mungkin tidak pantas atas kebaikan tersebut) cenderung bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan ia merasa beruntung akan hal yang ia dapatkan.
Kalau kita pahami kejadian di atas. Kebanyakan manusia “hanya” menghendaki segala hal yang menguntungkan bagi dirinya. Apapun itu bentuk dan asalnya. Yang ada dipikirannya hanyalah soal untung dan rugi. Kalau itu menguntungkan saya, baik benar atau salah, layak atau tidak, maka itu tidak menjadi persoalan. Kalau itu merugikan dirinya, maka ia akan mencari sebab “di luar ” dirinya mengapa ia mendapat keburukan tersebut.
Simin yang mendapat keburukan, ia tidak mau menerimanya dan kecewa. Akan tetapi ketika ia mendapat kebaikan, ia tidak peduli apakah ia memang layak untuk itu atau tidak.
Dalam hal yang lain, sebenarnya hal tersebut sering terjadi. Ketika kita mendapat musibah seperti sakit, kehilangan harta benda, dan lain sebagainya. Entah itu spontan atau tidak, kita sering mengatakan, “Ya Allah.. salah saya apa.. sehingga engkau tega memberikan cobaan yang begitu berat kepada saya”. Dan ketika ia mendapatkan keuntungan, jarang ada orang yang mengatakan, “Ya Allah.. apakah saya memang layak untuk mendapatkan ini..”. dan masih banyak lagi contoh yang serupa.
Syair Abu Nawas yang terkenal itu, sejatinya telah memberikan contoh kepada kita agar mau memahami hakikat hidup ini. “Wahai Tuhan.. Aku tak layak masuk ke SurgaMu.. Namun aku juga tak sanggup masuk ke NerakaMu.. Maka kami mohon taubat dan ampun atas dosaku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosa..”.
Ingatan saya melayang saat saya masih duduk di bangku SMP kelas 1. Pada saat itu, ketika nilai ujian harian dibagikan, ada teman saya yang maju menghadap guru dan kemudian meminta guru tersebut untuk mengoreksi kembali lembar ujiannya. Ia berkata kepada guru tersebut, “Bu, ini punya saya kok dibenarkan, padahal teman saya yang lain jawabannya sama seperti saya dan ternyata salah”. Ia justru mengadu kepada guru tersebut mengapa jawabannya dibenarkan.
Terkadang, kita harus kembali menjadi anak-anak agar dapat menjadi “polos” dalam menjalani hidup ini. Kalau kita tidak suka, kita akan bilang tidak suka. Kalau ada hal yang salah, kita akan mengatakan itu salah. Kalau kita merasa tidak layak akan sesuatu, tanpa sungkan kita akan mengakui bahwa kita memang tidak layak.
4 Februari 2014

Kawah Condrodimuko, Yogyakarta